
Mata Hati Sajadah
Oleh: Triana Septiara
Secara perlahan-lahan aku mulai membuka mataku untuk
yang pertama kalinya. Pandanganku agak samar, sambil mencoba melihat sekeliling
ruangan. Tertangkap oleh mataku, ada banyak kain, benang, mesin jahit, dan
masih banyak lagi benda asing yang baru ku lihat. Terlihat juga tulisan di
papan nama dekat pintu masuk, yang dipantulkan cermin di sebelah kiriku,
bertuliskan “Toko Sajadah Pak Cik”.
Sesaat kemudian, datang seorang lelaki paruh baya,
mengenakan pakaian melayu dengan memakai peci putih. Ia menghampiri, dan
menaruh diriku ke dalam sebuah kotak kardus, cover tutup kardus tersebut
bertuliskan juga Toko Sajadah Pak Cik. Disaat yang sama, aku mendengar langkah
kaki seseorang, sambil berbicara ke arah Pak Cik.
“Maaf Pak Cik, saya agak telat datang kemari untuk
mengambil pesanan sajadah.” Ucap lelaki tersebut dengan suara yang terdengar
berwibawa.
“Tak mengape Pak Handoko, saye maklumkan awak lepas
balik kerja, pastilah di jalan pun macet.” Tutur Pak Cik dengan logat Melayu.
“Baiklah kalau begitu, ini uang pembayaran
sajadahnya, Pak Cik. Sekalian saya pamit, karena sudah hampir waktu berbuka
puasa.” Ucap lelaki bersuara wibawa itu, sambil perlahan berjalan ke arah pintu
keluar.
Lelaki yang bernama Pak Handoko ini sepertinya
menaruhku di kursi belakang mobilnya, karena aku mendengar ada suara mesin
mobil menyala. Setelah melewati perjalanan yang agak lama, mobil yang membawaku
pun berhenti di depan rumah mewah bertingkat. Tepat setelah sampai, datang
mobil lain, seorang wanita keluar dari
mobil tersebut.
“Tumben sudah pulang, biasa mas buka puasa di luar
dengan teman kantor.” Kata wanita tersebut dengan nada suara agak tinggi.
“Besok kan sudah Hari Raya Idul Fitri, jadi kami
bisa pulang lebih cepat. Oh, ini tolong minta Bi Yayuk cuci dan keringkan dengan
mesin cuci. Sajadah baru mau ku pakai besok shalat Idul Fitri.” Suruh Pak
Handoko pada wanita tersebut yang ternyata adalah istrinya.
“Lah, kenapa mas beli lagi, sajadah yang dibeli
lebaran lalu kan masih bagus dan jarang dipakai.” Kata istrinya.
“Beda tahun, beda tren motif sajadah. Sudahlah,
sebentar lagi azan magrib.” Ucap Pak Handoko.
Idul
Fitri pun tiba, terlihat di sekeliling terbentang sajadah sepertiku di samping
kiri dan kanan Pak Handoko. Namun, di belakang pojok masjid ada seorang lelaki
tua berpakaian lusuh yang beralaskan kain sarung sebagai alas shalatnya. Ketika
yang lain berlomba-lomba untuk memperindah penampilan di Hari Raya Idul Fitri
ini, ia malah berpenampilan seadanya, bahkan terlihat kumuh. Tetapi sudahlah,
aku bersyukur Pak Handoko menjadikanku alas shalatnya, mudah-mudahan sampai
seterusnya aku digunakan olehnya.
Setelah selesai
shalat, Pak Handoko dan istrinya pulang ke rumah. Ia mengambil kotak sajadah
kemarin, dan meletakkanku di kotak tersebut, seperti semula, lalu aku disimpan
di dalam lemari, yang ternyata ada 2 kotak sajadah lagi di dalam lemari itu. Sepi
yang aku rasakan, selama ini hanya berada di dalam lemari. Hanya dipakai satu
kali, dan setelah itu tidak pernah digunakan lagi. Kecewa memang, yang ku pikir
pertama kali bahwa Pak Handoko selalu memakai diriku sebagai alas shalatnya, ia
terlalu sibuk dengan pekerjaannya, dan menelantarkanku begitu saja. Mungkin
sudah hampir satu tahun aku dilupakan oleh tuanku. Yang lebih miris, kedua
sajadah yang terlebih dahulu sudah ada di lemari ini, 2 sampai 3 tahun tidak
pernah menghirup udara luar. Sesekali Bi Yayuk membuka lemari untuk manaruh
kapur barus.
Waktu demi waktu telah
kembali berlalu, kesepian yang kami rasakan semakin memuncak. Dan pada suatu
ketika, Pak Handoko membuka pintu lemari dengan memegang paper bag, lalu
mengambil diriku dan dua sajadah lainnya, kemudian memasukkan kami ke dalamnya..
Dalam hati, aku bertanya-tanya, mau diapakan kami? Apakah kami akan dibuang?.
Terdengar suara mobil dihidupkan, ia menaruh kami di kursi belakang. Entah kemana
dia akan membawa kami.
Suara anak-anak mengaji
terdengar dari kejauhan. Semakin dekat mobil ini mendekati sumber suara
tersebut, semakin jelas pula suara anak kecil sedang mengaji. Pak Handoko mematikan
mesin mobilnya, lalu mengambil paper bag yang di dalamnya terdapat aku dan dua
sajadah lainnya. Langkah kaki Pak Handoko menuju ke masjid, tempat dimana
anak-anak kecil sedang mengaji. Terlihat ada seorang lelaki berumur 40 tahunan
mengenakan baju koko dan kopiah hitam yang duduk di depan anak-anak yang sedang
mengaji itu. Pak Handoko menghentikan langkah kakinya di depan pintu masuk
masjid, sambil mengarahkan pandangannya ke arah lelaki yang sedang mengajarkan
ngaji. Lelaki itu mengetahui kalau Pak Handoko ingin menemuinya. Ia pun
menghentikan anak-anak yang sedang mengaji tersebut, karena ada urusan dengan
Pak Handoko, dan menyuruh anak-anak itu melanjutkan dengan bacaan doa
sehari-hari.
“Assalammualaikum, Pak Handoko. Ada apa ya pak
datang kemari sore-sore begini?” Tanya guru ngaji itu.
“Maaf mengganggu waktunya Pak Ali, saya jadi tidak
enak. Ini ada sajadah yang tidak terpakai, buat jamaah masjid saja.” Jawab Pak Handoko
sambil menyerahkan paper bag kepada Pak Ali.
“Terima kasih Pak Handoko atas sumbangannya. Ini
sangat bermanfaat untuk masjid ini.” Sambil menjabat tangan Pak Handoko.
Pak Ali memasuki
masjid, berjalan ke arah lemari penyimpanan sajadah. Ia mengeluarkan kami dari
paper bag dan menaruh kami di atas tumpukkan sajadah lainnya. Aku berpikir,
mungkin dengan berada di sini lebih baik daripada berada di rumah Pak Handoko.
Aku tidak pernah digunakan sama sekali setelah shalat Idul Fitri lalu. Padahal
Pak Handoko dan istrinya berkehidupan yang serba tercukupi, bisa dikatakan
hidup mewah, mereka orang berpunya. Namun harta titipan tuhan tersebut dirasa
tidak cukup bagi mereka. Buktinya mereka masih saja sibuk bekerja sampai lupa
waktu shalat. Sungguh sangat disesalkan memang. Akan lebih baik kalau kehidupan
di dunia seimbang dengan urusan agama untuk di akhirat kelak. tapi apa daya,
aku hanya bisa terdiam bisu tidak dapat berbicara, karena amal seseorang hanya
Sang Pencipta yang mengetahuinya.
Waktu demi waktu
berlalu, semakin lama dugaanku semakin berbeda. Yang awalnya aku mengira akan
sering digunakan, karena ini adalah tempat ibadah. Namun kenyataannya berbeda,
hanya ketika shalat jumat saja masjid ini ramai oleh jamaah. Pada hari-hari
biasa ramai oleh anak-anak kecil mengaji bersama Pak Ali dari selepas ashar.
Tapi, kecuali ada seorang lelaki tua yang selalu datang ke masjid setiap waktu
shalat tiba. Wajahnya tidak asing, seperti pernah kulihat sebelumya. Haa, baru
ku ingat, ketika shalat Idul Fitri lalu, ada seorang lelaki yang mengenakan
sarung sebagai alas shalatnya, di pojok belakang masjid. Ia masih mengenakan
pakaian yang lusuh, ia juga selalu melaksanakan shalat di pojok belakang masjid
dengan beralaskan kain sarung lusuhnya. Dalam hatiku masih bertanya-tanya
kenapa ia selalu shalat di pojok belakang, dan tetap mengenakan sarung
lusuhnya, padahal banyak sajadah yang disediakan masjid tertumpuk di lemari
penyimpanan.
Dan pada suatu waktu
ketika shalat magrib tiba, terlihat seorang lelaki berpakaian lusuh itu sedang
menunggu iqamah dikumandangkan untuk menunaikan shalat magrib. Seperti biasa ia
berada di belakang pojok masjid. Datang pak Ali menghampirinya,
“Assalammualaikum, Pak Hasan?” Pak Ali memasuki masjid setelah mengambil
wudhu menyapa lelaki berpakaian lusuh itu.
“Waalaikumsalam, iya Pak Ali.” Menoleh ke samping
kirinya yang sudah berdiri Pak Ali di sampingnya.
“Bapak kenapa selalu mengambil tempat di sini? Shaf
depan masih banyak yang kosong pak.” Tanya Pak Ali dengan nada ramah.
“Tidak apa pak, pakaian saya lusuh, kotor habis mulung
tadi di jalan. Takut mengotori lantai masjid.” Jawab Pak Hasan dengan suara
terbatuk-batuk.
“Masyaallah… jangan begitu, Pak. Kita sama-sama
manusia. Tuhan tidak membeda-bedakan umatnya selama di dunia. Lebih baik berpakaian lusuh tetapi selalu
melaksanakan ibadah, daripada berpakaian jas tetapi melupakan waktu ibadah.”
Nasihat Pak Ali kepada Pak Hasan.
“Saya merasa tidak pantas saja, saya malu dengan
tuhan, Pak. Dikehidupan ini, saya hanya bekerja sebagai pemulung.” Ucap Pak
Hasan.
“Sudah, ayok ke shaf depan pak, sudah mau iqamah.”
Merangkul Pak Hasan untuk pindah ke bagian depan masjid.
Pak Ali mengambil
diriku dari tumpukan sajadah, dan membentangkannya untuk Pak Hasan. Shalat
magrib pun di mulai, dengan Pak Ali sebagai imamnya. Shalat dan doa setelah
shalat telah selesai, Pak Hasan bersalaman dengan Pak Ali, lalu bergegas ke
arah pintu masjid.
”Pak Hasan, tunggu dulu.” Beranjak berdiri dari
tempat imam, ia melangkah ke arahku lalu menarik diriku. “Ini untuk bapak, di
sini masih banyak sajadah yang tidak terpakai, karena jamaah sangat jarang
shalat berjamaah.” Tutur Pak Ali.
“Alhamdulillah, terimakasih Pak Ali. Saya doakan
semoga warga lain diluangkan waktunya untuk shalat berjamaah bersama di sini.”
Ucap syukur Pak Hasan sambil memelukku.
Pak Hasan melangkah
keluar dari masjid, ke arah sepeda yang dibagian jok belakangnya tertumpuk
kardus bekas. Ia menaruh diriku di keranjang bagian depan sepeda. Ia mengayuh
sepeda dengan perasaan bahagia. Kurang lebih setengah jam dari masjid, akhirnya
lelaki lusuh ini menghentikan sepedanya di depan rumah kecil berdinding anyaman
bambu yang bolong dimana-mana. Atap rumahnya pun banyak ditambal dengan terpal.
Ia kemudian masuk ke dalam rumah, sambil membawaku yang tadi dia letakkan di
keranjang bagian depan sepedanya. Terlihat di bagian dapur, ada asap yang
mengebul dari tungku pembakaran. Istrinya ternyata yang sedang memasak untuk
makan malam. Azan isya’ pun berkumandang. Setelah Pak Hasan dan istrinya
selesai makan, mereka langsung mngambil wudhu untuk melaksanakan shalat isya.
Dengan perasaan bahagia, Pak Hasan membentangkanku sebagai alas shalatnya, Hari
demi hari telah ku lalui. Walau berada di rumah kecil yang kumuh ini, aku
merasa senang karena aku sangat digunakan untuk beribadah. Kekurangan dari segi
ekonomi tidak menjadi halangan bagi keluarga Pak Hasan untuk beribadah kepada
tuhannya. Begitulah akhirnya perjalanan hidupku yang berbeda situasi dan
kondisi, dari rantai kehidupan bagian atas sampai ke bawah. Akhirnya aku bisa
hidup dengan nyaman dan bahagia sampai akhir hayat nanti.
***
0 komentar:
Post a Comment