Saturday, February 10, 2018

Bukan Masa Lalu, tapi Bagaimana Kini

Bukan Masa Lalu, tapi Bagaimana Kini
Oleh : Nabilla Nurul Aini

Tepat pukul 19.00 WIB aku mendaratkan pesawatku di kota ini, kota yang sengaja aku tinggalkan demi melupakan semua kenangan yang pernah ada. Di kota ini seuruh keluargaku dibantai hingga meninggal dunia ketika aku sedang menyelesaikan studi ku sebagai seorang pilot di kota Surabaya, malam ini terasa dingin.
            Aku seorang pilot berdarah Melayu–Jawa, ayahku seorang pelaut dan ibuku seorang dosen di salah satu perguruan tinggi di Surakarta, aku memiliki dua orang kakak dan aku anak bungsu dari tiga bersaudara. Kakakku dua-duanya berprofesi sebagai dokter. Keluargaku sangat amat bahagia sebelum cerita sedih itu datang menyelimuti keluargaku.
            Malam itu ayahku datang dengan tiba-tiba, sedang pesiar katanya. Aku yang sedang di rumah menyantap cheese cake buatan ibuku sangat senang, termasuk kedua kakakku yang sedang berjaga di rumah sakit setelah lama menunggu kehadiran ayah. Aku peluk beliau, tanda rindu ku sebagai seorang putri yang telah lama tidak dimanja oleh ayahnya, ia tersenyum dan mengecup keningku, namun kebahagiaan itu tidak bertahan lama ayahku pamit tidur, lelah katanya.
            Tepat dua jam setelah ayah tidur, adzan maghrib berkumandang dan aku bergegas membangunkannya ingin mengajaknya solat berjamaah karena rasanya rindu solat diimami oleh imam terhebat dalam hidupku. Tetapi apa yang aku dapatkan ternyata mampu membuat harapan yang telah aku bangun selama ini sirna, ayah yang aku banggakan yang belum sempat aku penuhi segala permintaannya pergi untuk selamanya, hatiku hancur.
            Aku, ibu, dan kedua kakakku terpukul mengingat keinginan untuk umroh sekeluarga tidak berjalan sesuai rencana. Apalagi kakakku yang pertama akan menikah satu bulan lagi. Seharusnya Ayah pulang kerumah seminggu sebelum kakak menikah, bukan sekarang dan pergi untuk selamanya. Terasa sekali gejolak batin yang sedang berkecamuk di dadanya. Wali nikah yang seharusnya menikahkan dia dan mendampingi kakakku di pelaminan, justru pergi sebelum hari spesial itu lunas digelar.
            Dua hari setelah kepergian ayahku aku terpaksa harus meninggalkan rumah dan keluarga kecilku yang masih terpukul selepas kepergian ayah, Ku lihat wajah ibu masih sembab karena menangisi ayah termasuk kedua kakakku terutama kakakku yang pertama matanya sembab, tidak mau makan dan bibirnya kelihatan pucat mengingat ia akan menikah satu bulan lagi.
Aku sampai di kota Surabaya, tempatku menuntut ilmu. Rasanya belum sanggup aku menjalani hari-hariku selepas kepergian ayah. Malam terasa hampa, karena biasanya ayahku tidak pernah absen menghubungiku setelah aku sampai di asrama.
           

Satu minggu sudah aku di asrama, aku mulai terbiasa tanpa ayahku dan keluargaku aku mulai bisa tersenyum dan bercengkrama dengan teman-temanku lagi.
Pukul 23.15 WIB handphoneku berdering, nomor asing menghubungiku. Sempat terpikir untuk tidak mau mengangkatnya. Namun batinku memaksa agar aku menjawab panggilan itu. Aku meraih handphoneku dan apa yang aku dengar dari suara di seberang sana, rasanya aku mau mati saja tidak mau melanjutkan hidupku lagi di dunia ini.
Malam itu juga aku kemas seluruh barangku, aku memesan tiket kereta. Tak henti-hentinya aku menangis. Rasanya belum hilang kesedihanku, kehilangan ayahku dan kini aku harus merelakan penyemangat hidupku. Ibu dan kedua kakakku dibantai bersamaan, Biadab!!! rasanya ingin aku mencari pembunuh itu dan aku tembakkan dengan ratusan peluru ke otaknya, tega-teganya ia membunuh penyemangat hidupku!! Rasanya belum lunas aku menjadi anak yang mampu membanggakan kedua orang tua ku, namun kini takdirku berkata lain.
            Dan kini aku harus kembali lagi ke kota ini setelah menamatkan studi ku, memang aku tidak bisa memilih kemana aku terbang karena aku adalah seorang pelayan masyarakat yang harus memastikan seluruh penumpangku selamat dan sampai ke tempat tujuannya agar bisa berkumpul dengan anggota keluarganya dirumah. Memang, aku sudah bertemu dengan pembunuhnya dan sudah aku dengar pula permintaan maaf dari mulutnya langsung, dan ia bilang pula bahwa ia akan dihukum mati. Cukup lega aku mendengarnya karena nyawa dibayar nyawa tapi itu tidak mampu membuat keluargaku utuh kembali.
            Sekarang, aku tutup buku hitamku di kota ini aku mulai kehidupanku yang baru sebagai pilot salah satu perusahaan bergengsi di Indonesia dan aku harus tetap kuat seperti sayap pesawatku yang aku kemudikan. Cukup banyak cerita di kota ini, kota yang mampu mengajarkan aku tentang jatuh bangun sebuah kehidupan belum banyak pula yang berubah di kota ini. Hanya saja rasa sakit ini dan ingatan kelam ini belum mampu aku lupakan. Tetapi aku cukup bangga terlahir disini, di kota yang orangnya ramah-ramah dan membuat aku betah berlama-lama disini. Meskipun kini aku tidak memiiki siapa-siapa lagi. Kelak ketika aku harus kembali kesini lagi, akan aku goreskan prestasi yang membanggakan untuk kota tercintaku ini dari seorang anak yatim piatu sepertiku ini.

0 komentar:

Post a Comment