Oleh : Puspa Kartikaning Wikono
Hari ini tepat tiga tahun kejadian itu
terjadi. Renata tak sengaja singgah di tempat ini. Taman ini menjadi saksi
perpisahan dirinya dan Randy pria yang menjadi sandaran hatinya. Ingatannya
kembali terkenang oleh peristiwa itu, peristiwa yang masih membekas dalam ingatan.
Peristiwa yang mungkin takkan pernah ia lupakan.
Dulu mereka adalah satu, Renata adalah
Randy dan Randy adalah Renata. Mereka sangat dekat dan hampir tak terpisahkan.
Sampai pada akhirnya semua itu berubah.
“Ren,
ntar pulang sekolah ikut aku bentar ya. Kamu gak ada urusan kan?,” ujar pria
tampan yang menghampiri Renata.
“Emang
mau kemana, Ran? Aku gak ada urusan kok,” jawab Renata.
“Ada
deh, pokoknya kamu ikut aja. Nanti aku kasih tau kita bakalan ngapain. Oke
sayang?,” balas Randy
“Ihhh,
kamu tu ya sukanya aneh-aneh. Oke deh sayang,” sembari mencubit pinggang Randy
“Hahahaa,”
balas Randy sembari menatap wajah Renata.
 |
Haruskah jarak menjadi penghalang cinta? |
Wanita mana yang tak terpikat oleh
Randy. Sosok yang tampan, tutur cemerlang dan memiliki hati yang tulus. Sungguh
beruntung apabila dapat menjadi tambatan hati Randy dan orang yang beruntung
itu adalah Renata.
“Eh,
Ren. Tadi aku denger kamu diajak jalan ya sama Randy? Ciee,” ujar seorang gadis
yang menghampiri Renata.
“Aaaah
apa sih, Nad. Paling dia ngajakin makan doang,” balas Renata.
“Ia
sih, kesannya makan. Tapi kan romantis. Duhh gue sebagai sahabat lo iri nih, Nad!
kapan ya gue bisa taken juga,”
celoteh Nadya sambil tertawa kecil.
“Iya
deh gue doain semoga lo cepetan taken”
“Amiin,
eh udah bel masuk. Yuk!,”
“Yuuk”
Renata dan Nadya menyudahi pembicaraan
mereka dan segera masuk ke kelas. Dalam hati Renata tak sabar ingin cepat
pulang. Ingin rasanya ia memutar waktu agar
rasa penasaran dalam hati dapat terjawab. Apa yang akan dilakukan Randy
setelah pulang sekolah? Renata hanya bisa mengubur rasa penasarannya dengan
waktu.
Pada akhirnya sang waktu menjawab semua
kegundahan. Waktu yang dinanti telah tiba. Renata keluar menyusuri
lorong-lorong kelas. Ia mempercepat langkah agar lebih cepat menemui Randy.
Sesekali ia melirik ke sekitar untuk dapat menemukan sosok Randy. Tampak di
kejauhan Randy sudah menunggu di depan gerbang. Renata bergegas menemuinya.
“Ran,
sorry ya udah nunggu lama,” ujar
Renata yang tampak tergesa-gesa.
“Iya
nggak apa kok sayang, aku juga nunggunya belum lama. Yuk kita pergi! Nih kamu
pake helmnya,” balas Randy sembari memberikan helm pada Renata.
“Oke
deh, makasih ya, Ran,” balas Renata sembari tersenyum.
Randy pun akhirnya membawa Renata ke tempat
yang ia tuju. Setiba di tempat tujuan Randy memakaikan penutup mata kepada
Renata. Dengan lembut ia menuntun langkah kaki Renata. Randy membawa Renata ke sebuah
taman kemudian ia membuka penutup mata tersebut.
“Surpriseeeeee, Happy Anniversary!!!,” teriak Randy sembari memberikan segenggam
bunga kepada Renata.
“Waaahhh,
Ran ya ampun kamu tuhhh…. Makasih yaa. Aku gak bisa berkata apa-apa lagi nih,”
balas Renata sembari memeluk Randy dengan mata yang berkaca-kaca.
“Iyaa,
sama-samaa. Kamu seneng kan? Sorry ya
aku gak bilang dulu tadi mau ke mana.”
“Iyaa
aku seneng banget, tuhh kan aku udah ku duga pasti kamu mau ngelakuin hal aneh.”
Tiba-tiba langit pun seperti ingin
menambah keromantisan mereka. Hujan turun membasahi bumi. Randy pun bergegas
menarik tangan Renata. Mereka pun segera bergegas meneduhkan diri di sebuah
pondok-pondokan kecil.
“Ren,
ini pakai jaket aku biar gak kedinginan,” ujar Randy sembari menyematkan jaket
ketubuh Renata.
“Gak
usaah… aku nggak apa-apa kok, Ran. Kamu pakai aja nanti kamu kedinginan,”
“Udah
pakai aja, nanti kamu masuk angin. Dingin banget loh”
“Iya,
Ran. Terima kasih, yaaa.”
“Iya,
sama-sama. Eh Ren, sebenernya ada sesuatu yang pengen aku omongin. Dan aku
takut hal ini buat kamu sedih,” ujar
Randy menambahkan.
“Apa
Ran? Kok serius banget? Bilang sama aku,” balas Renata yang terlihat penasaran.
“Nggak
ada apa-apa ko, Ren. Kamu salah denger aja tadi. Eh ujannya udah mau reda kita
pulang yuk,” jawab Randy mengalihkan.
“Raaann,
aku serius aku denger yaa tadi kamu jangan ngalihin deh!!,” balas Renata dengan
nada kesal.
“Hmmm..
sebenernya ini bukan waktu yang tepat untuk aku bilang tentang hal ini. Besok
adalah hari kelulusan kita. Lusa aku dan keluarga bakalan pindah ke Belanda,
Ren. Sebenernya aku udah cegat dan aku gak mau pindah ke sana. Tapi percuma….”
Renata pun terdiam mendengar ucapan
Randy. Ia masih tak percaya apa yang diucapkan Randy barusan. Hatinya seperti
teriris tetapi ia berusaha untuk tegar. Haruskah ia berpisah dengan Randy orang
yang selama ini mengisi warna di hari-harinya.
“Kenapa
kamu baru bilang sekarang, Ran? Nggak apa-apa kok kita LDR. Aku siap kok.
Mungkin ini ujian buat hubungan kita”
“Aku
juga siap Ren. Tapi yang jadi masalah aku ga bakalan balik lagi ke Indonesia.
Dan aku gak tau bakalan ketemu kamu lagi apa nggak”
“Kamu
jangan pesimis gitu dong, Ran. Nggak apa kok kalo kita ketemu gak setiap tahun.
Udahlah nggak usah takut”
“Iya,
Ren. Nanti aku pikirin gimana jalan terbaiknya. Yuk, kita pulang.”
Renata lalu menggenggam tangan Randy.
Hari ini ia berharap semua hanya mimpi. Masih terngiang jelas di telinganya apa
yang diucapkan Randy. Perasaannya seperti tertampar tapi ia tetap merasa tegar.
Rasanya ia ingin menghapus hari, tak ingin hari perpisahannya terjadi.
“Ren,
aku pulang dulu ya. Lusa aku tunggu kamu di taman tadi. Kamu jangan sedih dan
kepikiran hal tadi ya, Ren. Aku sayang kamu,” ujar Randy setiba di kediaman
Renata.
“Iya,
Ran. Terima kasih udah nganterin aku. Makasih juga surprise-nya. Aku yakin kok kita bakalan bisa menghadapi masalah
ini,” jawab Renata sembari tersenyum tipis.
“Udaah
ahhh, jangan sedih.. dah sayaang.”
“Dadaaaa.”
Malam akhirnya tiba. Waktu semakin cepat
berlalu. Sungguh Renata tak ingin hal yang ditakutkannya terjadi. Tak sanggup
rasanya berpisah dengan Randy. Ia menatap keluar jendela, rembulan seperti
mengetahui isi hatinya. Ia tak menyadari tiba-tiba air matanya menetes.
Perasaanya kian gelisah. Tak banyak yang dapat ia lakukan kecuali memasrahkan
pada tuhan.
Ternyata benar, sang waktu benci untuk
menunggu. Hari ini adalah hari yang ia takutkan. Kegelisahan tampak jelas di wajahnya.
Ia bergegas bertemu Randy di sebuah taman yang waktu itu mereka janjikan.
Jantungnya berdegub kencang. Bukan karna jatuh cinta melainkan oleh rasa takut
kehilangan. Ternyata Randy belum tiba di taman tersebut. Tak masalah bagi
Renata untuk menunggu. Tapi kali ini pandangannya tak bisa diam memperhatikan
sekitar.
“Rennn,
udah lamaa?,” tegur pria yang mengagetkannya.
“Eh,
Randy. Nggak kok, barusan aja. Kamu udah mau pergi?,” tanya Renata lirih.
“Maaf
aku terlambat. Belum kok masih ada waktu 15 menit. Ren ini aku ada sesuatu buat
kamu. Buka deh.”
“Apa
ini, Ran? Kalung? Ohh iya, ini aku ada jaket buat kamu. Biar di sana kamu gak
kedinginan.”
“Iya,
kalung ini buat kamu. Makasih, Ren. Tuhkan kamu repot-repot.”
“Nggak
apa-apa kok, Ran. Biar kamu inget terus sama aku. Hehehe,” jawab renata
“Ren,
aku mau ngomong sesuatu… Aku minta maaf banget sama kamu. Sekali lagi aku minta
maaf.”
“Ngomong
apa, Ran? Maaf? Yaudah lah nggak apa-apa. Kamu gak salah kok”
“Hmmm…
maaf, Ren. Hubungan kita kayaknya gak bisa dilanjutin kita udahan aja ya.”
“Kok
kamu ngomong gitu, Ran. Jangan becanda deh.”
“Aku
gak becanda kok, Ren. Aku serius. Lagi pula kalo dilama-lamain juga bakalan gak
enak. Maafin aku ren. Aku pergi dulu.”
Seketika langit berubah menjadi gelap.
Gemuruh pun mulai terdengar. Hujan mulai menampakkan diri. Sepertinya alam
turut merasakan isi hati Renata. Randy bergegas meninggalkan Renata dan
langsung masuk kedalam mobilnya. Renata tak sempat menahan langkah Randy.
Ia hanya terpaku diam menatap sisa-sisa
bayangan Randy. Sungguh air matanya tak dapat lagi dibendung. Hujan turun
bersamaan dengan air matanya. Bibirnya tak mampu lagi berkata, selain duduk
termangu di kursi taman. Sungguh bukan perpisahan seperti ini yang ia inginkan.
Semenjak kejadian tersebut, Renata tak pernah lagi mendengar kabar tentang
Randy. Keberadannya seperti hilang ditelan bumi. Sejak saat itu Renata dan
Randy terpisahkan. Sejak saat itu pula mengenang Randy adalah sebuah kepahitan.
Ia tak membenci Randy tapi ia menyayangkan sebuah perpisahan yang seperti ini.
Jarak bukanlah penghalang melainkan untuk menguatkan. Sampai detik ini Renata
belum dapat membuka hati. Karna cinta tak semudah menambatkan hati.
“Aku
membenci mengingat hal ini. Tapi aku tak pernah membenci pertemuan kita. Hanya
saja aku membenci perpisahan kita,” gumam Renata dalam hati sembari
meninggalkan taman.
-TAMAT-