![]() |
doc.LPM Paradigma Polibatam |
Akan
selalu ada senja setiap hari, dalam
setiap langkah bulan, dan setiap perjalanan tahun. Seperti halnya hari ini, senja itu datang. Namun kali ini ia tidak seindah sebelumnya.
Kusam, buram, kelam. Begitu juga dengan raut
ibuku, kelam. Aku pulang dengan
beribu tanya dalam otakku,
di halaman
rumah terdapat bendera hitam, orang mengenakan
pakaian serba gelap,
dan rintihan tangis terdengar dari dalam rumah.
Kupandangi sekelilingku, wajah-wajah mereka enggan melepas senyum menatapku
dengan perihatin. Dalam benakku terlintas banyak
kemungkinan. Yang
kutahu, bendera hitam tanda
bahwa ada orang meninggal.
Tapi siapa? Ayah? Ibu? Atau saudaraku? Namun batinku menolak untuk
mengakui siapapun yang meninggal itu.
Sekarang, kupercepat langkahku dengan pertanyaan-pertanyaan
dalam otakku.
Saat memasuki rumah, dan apa
yang terlihat? Ibu terduduk lemas disisi
jasad seseorang yang sangat aku kenali terlelap damai, Ayah.
Disenja itu, ibu yang menangis hingga
air matanya
tidak keluar lagi, suaranya parau dan matanya sembab. Tangis ibu
bagai pekikan elang yang kehilangan sayap indahnya. Ia meraung, berteriak
sejadi-jadinya di hadapan jenazah ayah. Iya, Ayah. Apa aku mimpi? Tapi bukankah
ini terlalu terlihat nyata untukku mimpikan?
Tangisannya
semakin menjadi ketika
segerombolan orang yang mebopong jasad dengan keranda itu datang. Kutatap jasad
yang damai itu, dalam hatiku aku merintih seakan tidak terima apa yang terjadi, “Ayah, apa ini? Ayah
ingin memberi kejutan ulang
tahunku?
Bukankah ini sedikit berlebihan yah?” Aku
berkelahi sendiri dengan keadaan dan pikirku yang terus bernalar. Aku melihat
ketidakrelaan tersirat dari wajah ibu.
Aku mendekat dan kupeluk ibuku yang tidak mengenali siapapun. Aku berbisik “Ikhlaskan, Bu” hanya kata itu yang
mampu mewakili sejuta kata dalam pikirku untuk menguatkan ibuku. Ingin aku berteriak dan menangis. “Ayah bukankah ayah berjanji hari ini kita
akan merayakan ulang tahunku?
Dan mana hadiahku, Yah?”
Lagi-lagi aku berdialog
dengan batinku
sendiri. Tidak bisa aku menangis
didepan ayahku,
karena aku tahu ayahku tidak suka jika aku menangis. Dengan
sisa-sisa tenaga ibuku berdiri,
menopang badannya mengikuti
rombongan
itu, namun badan lemah
itu kembali tersungkur ‘’menghantarkan ke tempat yang tenang, sepertinya aku
tidak sanggup” lirih hati ibu.
Senja itu ayahku tiada, bulir putih tidak kusadari jatuh dari mataku “Maaf Yah, biarkan aku
menangis kali ini saja”, lirihku.
Perlahan rombongan itu mengecil hilang di ujung jalan depan rumahku bersamaan
dengan pelayat yang mengikuti. Hujan turun, seakan ia tahu kesedihan
keluargaku. Biasanya senja aku jadikan waktu bersendau gurau dengan ayah, tapi hari ini, senja
ini, menjadi senja terkelam yang pernah kutemui. Ya, senja perpisahan.
Creator : Ronauli Pulungan
0 komentar:
Post a Comment