Pesawat
akan lepas landas beberapa menit lagi, Ofi mendapat kursi disamping jendela
pesawat, ini adalah posisi duduk favorit Ofi. Karena ia bisa berhalusinasi
sambil melihat ke luar jendela pesawat, memikirkan hal-hal yang mungkin ataupun
yang tidak mungkin terjadi di dunia ini. Misalnya, seperti bertemu dengan
mantan-mantannya dalam sebuah pertemuan private
yang sengaja ia buat, atau hanya sekedar bisa terbang dimalam hari dibawah
bintang-bintang sambil melihat mantan-mantan terlelap di kamar mereka
masing-masing. Semua hanyalah halusinasi yang sering ia kembangkan menjadi
hal-hal yang kacau, sesuatu yang tidak akan pernah jauh-jauh dari masa lalu
atau mantan.
VS 
Perjalanan kali ini akan berlangsung selama
kurang lebih 50 menit. Hati Ofi masih terasa deg-deg an, dilengkapi ia harus
berpisah dan meninggalkan sahabat-sahabatnnya dalam kurun waktu beberapa tahun
ke depan. Rasa cemas, galau, gundah, gagal
move on masih merayap-rayap di hati dan fikiran Ofi. Move On adalah hal yang paling Ofi benci, namun ia harus. Tidak ada
yang aneh dengan kehidupan Ofi, hanya saja kadang ia terlalu aneh dalam
menghadapi suatu masalah. Hal yang seharusnya serius menjadi sebuah lelucon,
dan begitu sebaliknya. Jadi, tidak banyak yang mengerti keadaan psikis Ofi.
Hanya GF (Gold Friends) yang mungkin selalu berusaha untuk mengerti akan
kelabilan yang ia miliki.
Dari
balik jendela pesawat, ia bisa melihat lautan awan yang luas, dilengkapi dengan
awan lumba-lumba, awan gunung dan gumpalan-gumpalan awan lainnya. Semua
terlihat sempurna jika dilihat dari hati dan imajinasi. Mood Ofi hari itu cukup
baik untuk menghadapi sebuah perubahan yang akan ia temui. Sehingga senyum dari
balik bibir nya selalu terlihat jika diperhatikan secara seksama. Ofi
mengeluarkan Headphone , berniat
untuk mendengarkan music selama dalam perjalanan, agar tidak terasa terlalu
membosankan. Mood adalah sesuatu yang sangat penting bagi Ofi, karena ia hanya
akan bergerak jika mood nya baik, begitu sebaliknya. Seperti telah di program
oleh sang mood untuk mengikutinya
apapun ia mau.
Beberapa
menit Ofi tenggelam dalam lamunannya tentang awan, hingga tiba-tiba pesawat
mulai bergoyang seperti menabrak sebuah gumpalan awan yang cukup besar, Ofi dan
penumpang lainnya masih tetap tenang karena hal ini biasa terjadi. Sejurus
kemudian alarm dari pramugari mulai berbunyi, tanda untuk menggunakan sabuk
pengaman dihidupkan, sebuah sumber suara memberi tahu bahwa pesawat saat ini
tengah kekurangan oksigen, sehingga para penumpang dianjurkan untuk
bersiap-siap menggunakan kantung oksigen apabila nanti diturunkan secara
otomatis.
Ofi
juga terlihat sedikit panik, namun ia lebih percaya pada Tuhannya ( Allah) ,
sambil berdo’a dan pasrah, Ofi mengikuti apa-apa yang dianjurkan oleh
pramugari. Beberapa kali pesawat tersebut menabrak awan dan berguncang cukup
dahsyat, beberapa orang tidak sadar dengan situasi ini karena sebagian mereka
sudah terlelap dengan mimpinya. Ofi hanya bisa pasrah, karena ia tidak bisa
berbuat banyak. Ia hanya mengikuti instruksi dari pramugari.
Anehnya,
Ia malah memikirkan hal-hal yang ia
takutkan setibanya ia di Batam nanti, diantaraya :
“Bagaimana kalau nanti setibanya di Batam,
Ofi tidak benar-benar mendapat beasiswa tersebut?? Apakah ia harus kembali ke
Riau??”
“Kalaupun benar ia diterima,
bagaimana dengan mimpinya untuk kuliah di salah satu Universitas terbaik di
Jawa? Apa ia harus mengurungkan niatnya begitu saja ??”
“Bagaimana kalau sesampainya di
Batam, ia tidak bertemu dengan orang-orang baik?”
“Bagaiman dengan keluarganya di
Riau, secara dia adalah anak satu-satunya di keluarga itu?”
“Bagaimana dengan GF, apakah mereka
akan tetap bersama walau jauh?”
“Bagaimana dengan Yua, apakah ia
akan tetap tersenyum tanpa gue?”
Serentetan
pertanyaan sederhana berputar-putar di kepala Ofi, meskipun saat keadaan
pesawat sedang tidak aman, ia tetap bermain-main dengan logikanya yang tidak
seberapa bila dibandingkan dengan Albert Einstein.
Beberapa
menit kemudian, keadaan pesawat kembali normal, Ofi masih asik dengan HeadPhone nya. Tanda sabuk pengaman
telah dimatikan, tidak ada hal aneh yang terjadi pada pesawat itu, hanya saja
hujan mulai turun. Pesawat akan mendarat beberapa menit lagi , dan dalam
hitungan menit pula Ofi akan memulai kehidupan barunya. Jantung Ofi semakin
deg-deg an. Pramugari menyuarakan untuk menggunakan sabuk pengaman dan
menegakkan sandaran kursi.
Getaran
pesawat saat mendarat begitu terasa sehingga Ofi merubah posisi duduknya karena
terbawa oleh gaya tarik dari badan pesawat yang dinaikinya. Sejurus kemudian,
pesawat mulai berjalan pelan, ini menandakan bahwa pendaratan telah dilewati
dengan sempurna. Disatu sisi Ofi merasa lega, disini lain Ofi mulaii cemas. Ia
harus menetap di kota ini dalam beberapa tahun ke depan. Ia harus melupakan
Fadly, ia harus berpisah dari sahabat-sahabat terbaiknya, ia harus berpisah
dengan kedua orang tuanya. Ia harus melupakan semua tempat-tempat istimewanya
di Riau.
Pesawat
telah berhenti, semua penumpang bersia-siap untuk keluar, mengambil
barang-barang dan mengantri satu sama lain. Ofi masih duduk di kursinya,
menunggu antrian dan keramaian itu memudar. Ia hanya melihat para penumpang
yang tidak sabar untuk keluar, karena lelah berlama-lama di pesawat tersebut.
Ofi kemudian menghidupkan HP nya, melihat ke layar hp dan menunggu keadaan
signal hp nya pulih. Tidak berapa lama setelah itu, beberapa pesan masuk,
ternyata itu dari teman ayah Ofi yang bersedia untuk menjemputnya di bandara
kali ini.
Fi, nanti kalau sudah sampai
bandara, telfon bapak, ya.
Kira-kir
begitu bunyi pesan tersebut. Ofi mulai membukan kontak di hp nya lalu menelfon
seseorang setelah keluar dari pesawat.
“Iya, pak. Saya sudah sampai di bandara,
jemput sekarang ya, pak”
Begitu
Ofi berucap, kemudian memasukkan hp nya ke dalam saku celananya, lalu
memperbaiki sandangan tas ransel yang ia bawa.
Sepanjang
perjalanan menuju keluar bandara, tatapan Ofi masih kosong, tidak ada yang
menarik perhatiannya kali ini, tidak ada yang membuatnya bersemangat. Kali ini
pertanyaan-pertanyaan yang terlintas di benakknya diabaikan begitu saja. Ia
masih mengingat sosok Fadly, seorang laki-laki yang telah membuatnya dingin
membatu selama beberapa tahun terakhir. Semenjak putus dari nya, Ofi tidak
seceria dulu. Ada yang ia sembunyikan dibalik tawanya, ada yang berusaha dia
hapus dibalik langkah-langkahnya. Begitu juga dengan keputusannya kali ini, move place mungkin akan sedikit membantu
meringankan kepalanya untuk menghapus Fadly.
Batam
adalah pilihan terbaik baginya saat ini, agar tidak larut dalam
kenangan-kenangan masa lalu nya. Ofi hanya berusaha maju disaat sebuah tempat
yang bernama hati tidak bisa menerima nya lagi, dipaksa untuk mencari pelabuhan
baru, padahal itu tidak semudah yang ia bayangkan selama ini. Apa jadinya jika
seseorang yang mempunyai kinerja otak kanan yang sangat baik akan sebuah
kenagan, tidak bisa melupakannya begitu saja dengan mudah?? Bagaimana mencari
sebuah penyeimbang, ketika penyeimbang yang lama tidak sepadan dengan yang
baru. Tetapi itulah manusia, tidak bisa disamakan satu dengan yang lainnya.
Begitu juga dengan tempat, Batam dan Riau adalah dua hal yang berbeda. Keduanya
mempunyai keindahan dan kelebihan masing-masing, saling melengkapi untuk
dimasukkan ke dalam sebuah peta.