LPM Paradigma, Batam
- Ramah, penuh kehangatan, dan santun. Itulah tiga hal yang terbesit pada benak
saya ketika menginjakan kaki di kota Yogyakarta. Kota yang kaya akan budaya,
kuliner, dan tentu sejarahnya ini memang akan meninggalkan kenangan dalam
memori setiap orang yang mengunjunginya.
Melancong ke
Yogyakarta bertepatan ketika Idul Fitri memang memiliki cerita tersendiri.
Lelahnya menempuh perjalanan panjang dari Jakarta melalui jalur darat seakan
tidak terasa ketika suasana kota pelajar ini menyambut kedatangan saya.
Berbicara
tentang kuliner khas Yogyakarta, pasti tidak akan jauh-jauh dari gudeg. Memang,
gudeg bak ikon kuliner khas kota Yogyakarta. Tentu bukanlah suatu hal yang
sulit mencari gudeg enak di kota ini. Hampir semua sudut kota terdapat warung
makan yang menjual gudeg.
Saya
menyempatkan diri untuk sarapan gudeg di bilangan Kaliurang, yakni Gudeg Yu
Djum. Sangat ramai dan harus sabar menanti meja yang kosong. Ini kali kedua
saya mampir di Gudeg Yu Djum, karena ketika kunjugan pertama saya kesini
gudegnya telah ludes padahal belum di jam tutupnya. Satu porsi nasi gudeg,
krecek, dan dengan potongan ayam bagian dada dipatok dengan harga kurang dari Rp
40.000 saja. Cukup terjangkau, bukan?
Setelah sarapan,
saya kini pindah haluan ke Pasar Beringharjo dan mengitari Jalan Malioboro
untuk berbelanja. Tidak lengkap rasanya kalau ke Yogyakarta tidak membeli baju
batiknya yang terkenal murah dan berkualitas.
Dan benar saja,
saya mendapatkan baju batik yang terbilang cukup bagus dan murah dengan harga murah
meriah, yakni tidak lebih dari lima puluh ribu rupiah.
Bersihnya kota
ini amat sangat saya rasakan ketika berbelanja. Padahal, saya berbelanja di pasar
dan bukan di outlet batik. Jarang
saya temui sampah berserakan dan sepertinya memang sengaja ditempatkannya
tempat sampah yang cukup banyak di setiap sudutnya. Salut dan kagum akan
kebersihannya.
Puas berbelanja,
saya menyengajakan diri untuk menikmati senja di Candi Prambanan. Candi yang
memiliki banyak kisah dan sejarah ini berhasil membuat saya semakin cinta
dengan Yogyakarta.
Bayangan
matahari yang perlahan terbenam semakin menambah keindahan candi. Stupa yang
terawat dan kokoh seakan-akan tidak tergerus termakan zaman. Tidak lupa juga
dengan lantunan biola yang memainkan lagu jawa kuno yang dibawakan oleh sang violist. Sempurna!
Tidak terasa
waktu berlibur di Yogyakarta saya akan usai. Perjalanan panjang akan saya
tempuh kembali. Namun sebelum berangkat, saya melaksanakan ibadah sholat di
masjid area perkampungan warga.
Ketika saya
sedang duduk terdiam di masjid, saya dihampiri oleh ibu-ibu yang terlihat
seperti warga sekitar yang biasa sholat di masjid tersebut. Tentu saya tidak
kenal dengannya. Tetapi, ia berpesan agar saya berhati-hati dalam perjalanan
dan mendoakan saya semoga selamat sampai tujuan. Dan ia mengakhirinya dengan
memeluk saya.
Penobatan ramah,
penuh kehangatan, dan santun memang layak diberikan untuk warga Yogyakarta. Sungguh,
penutup liburan yang manis. (kaa)
0 komentar:
Post a Comment