Friday, November 4, 2016

Kilau Kehangatan Nusantara di Tanah Jawa

LPM Paradigma, Batam - Ramah, penuh kehangatan, dan santun. Itulah tiga hal yang terbesit pada benak saya ketika menginjakan kaki di kota Yogyakarta. Kota yang kaya akan budaya, kuliner, dan tentu sejarahnya ini memang akan meninggalkan kenangan dalam memori setiap orang yang mengunjunginya.

Melancong ke Yogyakarta bertepatan ketika Idul Fitri memang memiliki cerita tersendiri. Lelahnya menempuh perjalanan panjang dari Jakarta melalui jalur darat seakan tidak terasa ketika suasana kota pelajar ini menyambut kedatangan saya.

Berbicara tentang kuliner khas Yogyakarta, pasti tidak akan jauh-jauh dari gudeg. Memang, gudeg bak ikon kuliner khas kota Yogyakarta. Tentu bukanlah suatu hal yang sulit mencari gudeg enak di kota ini. Hampir semua sudut kota terdapat warung makan yang menjual gudeg.

Saya menyempatkan diri untuk sarapan gudeg di bilangan Kaliurang, yakni Gudeg Yu Djum. Sangat ramai dan harus sabar menanti meja yang kosong. Ini kali kedua saya mampir di Gudeg Yu Djum, karena ketika kunjugan pertama saya kesini gudegnya telah ludes padahal belum di jam tutupnya. Satu porsi nasi gudeg, krecek, dan dengan potongan ayam bagian dada dipatok dengan harga kurang dari Rp 40.000 saja. Cukup terjangkau, bukan?

Setelah sarapan, saya kini pindah haluan ke Pasar Beringharjo dan mengitari Jalan Malioboro untuk berbelanja. Tidak lengkap rasanya kalau ke Yogyakarta tidak membeli baju batiknya yang terkenal murah dan berkualitas.

Dan benar saja, saya mendapatkan baju batik yang terbilang cukup bagus dan murah dengan harga murah meriah, yakni tidak lebih dari lima puluh ribu rupiah.
Bersihnya kota ini amat sangat saya rasakan ketika berbelanja. Padahal, saya berbelanja di pasar dan bukan di outlet batik. Jarang saya temui sampah berserakan dan sepertinya memang sengaja ditempatkannya tempat sampah yang cukup banyak di setiap sudutnya. Salut dan kagum akan kebersihannya.

Puas berbelanja, saya menyengajakan diri untuk menikmati senja di Candi Prambanan. Candi yang memiliki banyak kisah dan sejarah ini berhasil membuat saya semakin cinta dengan Yogyakarta.

Bayangan matahari yang perlahan terbenam semakin menambah keindahan candi. Stupa yang terawat dan kokoh seakan-akan tidak tergerus termakan zaman. Tidak lupa juga dengan lantunan biola yang memainkan lagu jawa kuno yang dibawakan oleh sang violist. Sempurna!

Tidak terasa waktu berlibur di Yogyakarta saya akan usai. Perjalanan panjang akan saya tempuh kembali. Namun sebelum berangkat, saya melaksanakan ibadah sholat di masjid area perkampungan warga.

Ketika saya sedang duduk terdiam di masjid, saya dihampiri oleh ibu-ibu yang terlihat seperti warga sekitar yang biasa sholat di masjid tersebut. Tentu saya tidak kenal dengannya. Tetapi, ia berpesan agar saya berhati-hati dalam perjalanan dan mendoakan saya semoga selamat sampai tujuan. Dan ia mengakhirinya dengan memeluk saya.

Penobatan ramah, penuh kehangatan, dan santun memang layak diberikan untuk warga Yogyakarta. Sungguh, penutup liburan yang manis. (kaa)

0 komentar:

Post a Comment