Hujan
(Oleh:Desi
Pipian Pujakusumo)
Tik..tik..tik.. Ah, hujan turun lagi. Aku bergegas lari untuk
berteduh di pinggiran ruko. Aku sangat membenci hujan, bukan apa-apa, tapi
ketika hujan turun seketika perasaan pedih itu menggelayutiku dengan sangat kuat.
Bahkan aku merasa langit sedang menertawaiku ketika hujan turun. Aku memang
gadis yang menyedihkan, masih terluka dengan kenangan yang pahit ketika ia
memutuskan untuk pergi demi tujuannya yang menurutnya lebih baik ketimbang
terus bersamaku. Tapi yang lebih menyedihkannya lagi, aku tidak bisa
mengabaikan keinginan hatiku untuk terus menunggunya kembali.
“Dek, kenapa bengong? Itu
hujannya sudah reda,”
aku tersentak kaget oleh
sapaan kakek yang sedari tadi duduk berteduh di sebelahku.
“Ah, sudah
reda ya. Sampai
jumpa kek, terimakasih sudah menyadarkan lamunan saya, hehehe,” aku
tersenyum dan bergegas pergi karena pagi ini ada kelas Pak Sunyoto yang super killer.
Sesampai dikampus,
ternyata Pak Sunyoto tidak hadir.
Aku berjalan lesu menuju
ke arah kantin. “Hey
gadis kecil, ikut denganku!”
tiba-tiba ada sesosok pria
jangkung yang menarik tanganku dan memaksaku untuk mengikutinya. Dia menarikku
ke cafe di samping kampusku. Aku masih menerka-nerka siapa lelaki ini,
“Hey,
santai saja aku bukan penjahat. Mau kopi? Wajahmu itu sekarang terlihat sangat
kusut, ah menyedihkan sekali,’’
laki-laki itu bicara dengan nada yang sok bersahabat dan seakan akan sudah
mengenalku cukup lama.
“Siapa ya? Maksutnya apa ini tiba-tiba membawaku kesini, bukankah kita tidak
saling mengenal?” ucapku
ragu. “Wah, aku sakit hati sekali mendengarnya, apa kau tidak pernah mendengar
dari ayahmu, aku Iqbal Dirgantoro, calon suamimu,” wajahnya menyeringai dengan senyum
menyungging penuh percaya diri.
“Ah, jadi kau yang bernama Iqbal itu. Aku
tidak pernah menyetujui perjodohan kita, jadi aku tidak pernah mau tahu
tentangmu,”
Aku berdiri dan hendak meninggalkan
laki-laki aneh itu.
“Hey-hey, beginikah caramu
bertindak pada calon suamimu, duduk dan minumlah kopimu terlebih dahulu,” lagi-lagi, dia menarik tanganku
dan menyuruhku kembali duduk.
“Aku tahu kau tidak menginginkan perjodohan ini,
tapi apa salahnya kita mencoba saling mengenal, tapi sejujurnya aku sudah mengenalmu
lebih banyak dari yang kau tahu, jadi sekarang gentian kamu untuk mulai mencari
tahu tentangku,”
dia mengedipkan matanya
yang membuatku sangat jijik melihatnya. Aku segera menghabiskan kopiku dan
bergegas pergi meninggalkannya.
Mulai hari itu, laki-laki aneh itu
terus mengikutiku. Dia selalu menjemputku ketika aku pulang kuliah, mengirimkan
bekal makan siang lewat para pengawalnya yang didalamnya biasanya terselip
surat yang sok romantis seperti “makan
yang banyak ya gadis kecilku, calon
istriku harus selalu sehat, salam dari Iqbal suamimu tercinta”
dan itu membuatku ingin muntah. Hal itu membuat banyak teman-temanku merasa
iri, karena menurut mereka si Iqbal itu sangatlah tampan, apalagi di tambah body goalsnya. Tanpa aku sadari aku
mulai terbiasa dengan kedatangannya, karena setiap hari dia tidak pernah
menyerah memberiku perhatian. Sebulan kemudian, dia tiba-tiba jarang datang menemuiku,
bahkan aku sudah tidak pernah menjumpai pengawalnya yang selalu mondar mandir
hanya untuk mencariku dan memberikan bekal makan siang. Dan hari ini, dia benar
benar menghilang. Sudah tidak ada kabar darinya, aku tersenyum pahit dan
berkata dalam hati “bukankah memang pasti
seperti ini akhirnya?” ah, memang sendiri lebih
baik.
***3
bulan kemudian***
Tin tin!
Aku tersentak kaget
karena jam 6 pagi dihari minggu ada klakson mobil yang terus berbunyi dari
samping kamarku.
Aku membuka jendela dan
betapa kagetnya ternyata laki-laki gila itu sudah rapi dengan gaya sok swag dan senyum yang tersimpul sok
ramah.
“Good morning gadisku! Cepat
mandi sana, dandan yang cantik yaa, hari ini kita harus jalan jalan.” dia berkata sambil
nyengir. “What?!
Hey, kita tidak pernah
janjian sebelumnya, jadi cepat pergi sana!” aku kaget karena sosok
pria jangkung itu datang lagi dengan nada yang tanpa dosa .
“Wooo, ayahmu yang menyuruh kita untuk jalan jalan
lhoo, so wake up and hurry up my girl!”
lagi-lagi dia tersenyum
lebar sok ramah. Dengan kesal aku menutup jendelaku dan bergegas mandi. Tapi
hari ini dia memang tampak begitu keren, dengan kaos hitam polos dan jaket jeans
birunya. Ah, segera ku buang pikiran gila itu dan akhirnya kami berangkat. Dia
mengajakku ke pantai, seketika hatiku terasa pilu karena di pantai ini lah
perpisahanku dengannya terjadi.
Tanpa sadar air mataku menetes sedikit demi sedikit.
Aku enggan keluar mobil, tetapi laki laki gila itu malah menarikku. “Kau
menangis? Apa karena kau bahagia bertemu denganku? Hey, ayolah jangan penuh
drama, hahaha,”
dia tertawa terbahak bahak.
Meskipun aku tau dia
hanya bercanda tapi candaannya benar benar mebuatku kesal .
“Plak! Apa
kau pikir lucu hah?! Kau pikir lucu aku
menangis, kau itu benar benar menyebalkan!”
aku menamparnya dan berlari sekencang-kencangnya menuju pinggiran pantai sambil
menumpahkan tangisku.
Tiba-tiba ada tangan yang memelukku dari belakang
dan tentu saja itu tangannya si Iqbal.
Aku ingin marah dan
berontak, tetapi hatiku menolak karena pelukan itu benar benar terasa hangat
dan sedikit mengurangi kesedihanku.
“Hey,
aku minta maaf.
Aku memang sengaja
mengajakmu kesini, aku ingin menghilangkan ingatanmu tentang dia, aku tahu
semuanya, selama ini aku memperhatikanmu dari jauh, aku menunggumu selama ini,
tolong cerdaslah sedikit Dyah, dan mulailah melihatku,” aku tersentak mendengar
pernyataannya, aku merasa begitu bodoh karena selama ini tak pernah membuka
hati untuk yang lain dan malah meratapi sesuatu yang telah hilang.
Lalu aku memberanikan diri untuk bertanya, “kemana saja dirimu
tiba-tiba menghilang,bukankah kau itu sama saja dengan dia yang seenaknya pergi
begitu saja.”
“Hmm, aku
sengaja tidak memberitahumu, 3 bulan ini aku sibuk mengurus cabang baru
perusahaan ayahku yang di Singapore, tapi meskipun aku tidak menghubungimu, sebenarnya setiap hari aku
merindukanmu, bahkan
aku menyuruh pengawalku untuk mengambil fotomu setiap hari secara diam diam
agar kangenku terobati,” dia
berkata sambil mengelu elus rambutku.
Tanpa sadar tangisanku semakin keras, dia memelukku
dan menghapus air mataku. tiba-tiba dia menggedongku menuju gazebo yang ada di
sekitaran pantai. “Hey,
apa-apaan ini, cepet turunin gak?!”
aku membentak dengan wajah kesalku, tetapi dia tidak menggubris dan terus
menggendongku menuju gazebo.
Semua mata melihat ke arah kami, tapi sepertinya dia
tak peduli dengan hal itu. “Makanlah
dulu, ini aku bawa bekal makanan kesukaanmu,
handmade ku lhooo,
haha,” lagi-lagi dia tersenyum dan
tertawa, tapi
entah kenapa kali ini senyumannya terlihat sangat manis. Tak kuduga ternyata
Iqbal jago memasak, masakannya
benar benar lezat.
Setelah makan, kami bermain air, saling
kejar kejaran dan kali ini sungguh aku sangat bahagia dengan kedatangannya. Tik.. tik.. tik..
dan tiba tiba hujan turun, aku sangat sedih kenapa hujan harus turun di saat
seperti ini.
“Ayo,
cepat kembali ke gazebo!”
Iqbal menarikku dan memaksaku mengikutinya. “Dyah, kau tidak menyukai hujan?
Bukankah hujan itu anugerah, jadi jangan salahkan hujan, jangan membenci hujan,
sejujurnya aku sangat menyukai hujan karena akan ada keindahan yang hadir
setelah hujan.”
Aku tetap diam dan tak bergeming. Setengah jam kemudian
hujan pun reda, “Hey, hujannya reda, lihat
itu ada pelangi, bukankah itu indah? Jadi kenapa kau sedih ketika hujan datang,
padahal hujan membawa keindahan.”
Aku mendongak dan melihat pelangi yang benar-benar indah. Aku baru menyadari
selama ini hujan
yang selalu aku benci adalah sesuatu hal yang indah. Tanpa sadar, aku menangis
lagi, tapi kali ini tangisan yang bahagia. Aku melihat pelangi itu
dengan mata berkaca-kaca
dan dengan perasaan lega. Hujan lah yang mengantarkan kepergiannya, tetapi hujan
juga lah yang menigirimkan penggantinya yang lebih baik kepadaku.
Terimakasih hujan, entah bagaimana nantinya hubungan kami ini. Tapi
aku tidak akan pernah lagi menyalahkan dan membencimu. Tuhan, maafkan aku yang
telah lalai untuk mensyukuri anugerahmu. Angin semilir menerpa kami berdua dan
kami saling memandang dengan senyuman penuh arti.
0 komentar:
Post a Comment