Pyaar…
Suara
gelas pecah terdengar mengejutkanku sesaat setelah aku keluar dari dapur.
Buru-buru aku menuju kamar, dan benar saja Om Rudi tampak terkejut dengan apa
yang baru saja dibuatnya. Tangannya bergetar dan pecahan gelas berserak di
lantai. Beliau menatapku dengan tatapan tak berdaya.
“Iya om, tak apa. biar Rena yang bersihkan.
Om Rudi istirahat saja lagi.” Aku berjalan mendekati tempat tidurnya dan segera
mengais pecahan kaca. Om Rudi berbaring lagi, namun matanya tetap terbuka. Aku
yakin ia sedang merasa tak berguna saat ini, ia merasa selalu merepotkan orang
lain. Baiklah aku tidak akan mengeluh, ini bukan sesuatu yang perlu
dibesar-besarkan.
Petang menjelang,
badanku terasa begitu lengket karena seharian membersihkan rumah dan merawat Om
Rudi. Kudengar suara motor matic
berhenti di halaman, itu pasti Andini
gumamku pelan, kutatap pintu lekat-lekat dan benar… Andini masuk dengan seragam
dinasnya.
“Rena… kau masih di sini? Ah,
terimakasih.” Andini buru-buru melepas sepatu tingginya, meletakkan tas di atas
meja lalu menghampiriku. Aku hanya tersenyum.
“Kau
belum mandi? Kau pasti lelah sekali. Mandilah akan kusiapkan makan malam.”
Andini berjalan ke dapur. Lantas aku tersadar, aku sibuk memberekan rumah
sampai lupa makan dan memasak. Aku segera mandi supaya bisa menggantikan Andini
yang sudah lelah bekerja.
“Rena, kau jadi pergi ke Jakarta? Apa
tidak bekerja di sini saja? Bukankah Batam punya banyak perusahaan yang pasti
akan menerimamu?” Andini memecahkan lamunanku.
“Eh, Andin.. sejak kapan kau berdiri di
situ?” Aku terdiam sejenak, sambil berharap Andini mengganti pertanyaannya,
tapi dia tetap menatapku.
“Baiklah, aku menyerah akan kujawab. Aku
ingin sekali bekerja di Jakarta karena tawarannya lebih baik. Posisiku lebih
baik, demikian juga dengan gajinya. Ini pekerjaan yang sudah lama kuimpikan.” Andini
terdiam mendengar jawabanku, dan aku pun
demikian. Aku sendiri berusaha mengoreksi jawabanku, apakah itu yang
benar-benar kurasakan dan yang kuinginkan.
“Aku tidak akan melupakanmu Rena,
terimakasih ya sudah mau tinggal beberapa waktu di rumahku sebelum pergi ke
Jakarta. Ayah senang sekali menyadari aku punya sahabat sepertimu.” Kali ini
aku hanya mampu membalasnya dengan senyum, hanya itu yang bisa kulakukan.
Sejujurnya aku juga senang berada di sini, aku merasa ada, dan berguna. Setelah
sekian lama aku tak merasakannya.
Keesokkannya
aku sudah ada di bandara, aku sungguh yakin akan merasa lebih baik di Jakarta.
Aku menguatkan hati, ini tidak akan menyakitkan. Andini akan baik-baik saja
dengan ayahnya. Mereka orang yang hebat, aku tidak bisa terus bersama mereka
dan melupakan impianku. Apapun yang terjadi aku akan berangkat. Andini memang
sahabatku, kami sangat dekat bahkan melebihi saudara, tapi mimpiku tetaplah
sama. Hari itu dengan tega aku memutuskan pergi ke Jakarta, meninggalkan Andini
sendirian merawat ayahnya yang sakit keras. Sepanjang perjalanan aku hanya
berusaha menguatkan diriku sendiri. Iya, hanya itu yang kulakukan sepanjang
perjalanan menuju Jakarta. Kemudian aku menonaktifkan ponsel. Berharap aku bisa
kuat tanpa harus memberi dan menerima kabar dari Andini. Itu yang kulakukan,
berusaha menjadi orang yang tidak punya hati, pikirku itu demi kebaikanku.
Telah
tiga hari aku bekerja di perusahaan asing yang sudah lama kuimpikan. Dan
terhitung sudah seminggu aku tinggal di Jakarta. Ternyata kesibukan membuatku
baik-baik saja. Beberapa waktu aku tinggal bersama Andini dan ayahnya, sejak kecil
kami bersahabat dan dengan kesibukan padat, ternyata mampu membuatku sejenak
melupakan kesedihan kalau aku harus berpisah dengan Andini.
***
Malam
ini begitu tenang, aku berdiri di balkon apartemen baruku. Apartemen yang
diberikan perusahaan sebagai tempat tinggalku. Angin berhembus sepoi-sepoi menambah
aroma yang menenangkan. Memandang kota Jakarta dari lantai 41 ternyata begitu
menyenangkan, salama di Jakarta baru kali ini aku bisa menikmati malam. Melihat
lampu gemerlapan kota Jakarta dan kendaraan yang memadati jalan membuatku
seakan terhibur sendiri. Tiba-tiba aku teringat pada ponselku yang sudah
kunon-aktifkan selama seminggu. Aku buru-buru masuk, menarik laci dan meraih
ponselku. Kuaktifkan dengan segera, beberapa menit berlalu dan belasan pesan
singkat masuk bergantian. 12 pesan dari Andini, 3 dari operator, 2 dari
temanku. Aku sedikit ragu membukanya, pertama pesan dari temanku, ternyata
isinya tidak terlalu penting. Kedua dari operator, dan ini ternyata lebih tidak
penting dari sebelumnya. Baiklah yang terakhir dari Andini, 12 pesan ku buka
dari yang paling awal dikirim.
“Dia menanyakan apakah aku sudah sampai
di Jakarta, em dia menanyakan kabarku, baiklah kemudian dia masih menanyakan
kabarku sampai pesan ke 10, sejauh ini masih baik-baik saja,” bacaku santai
sambil menarik nafas lega. Kalau ia menanyakan kabarku berarti ia juga
baik-baik saja. Aku menggeser layar ke bawah, pesan ke 11,
“Rena, apa kau baik-baik saja? Aku
selalu berusaha menghubungimu, tapi nomormu tidak aktif. Semoga itu bukan
pertanda sedang terjadi hal buruk denganmu. Yah, karena hal buruk itu sedang
menimpaku. Ayah sudah pergi Ren, tadi pagi pukul 07.10. Rasanya aku ingin pergi
menemani ayah, andai aku bisa.” Suaraku bergetar, awalnya aku bersemangat
membaca pesan ini keras-keras sampai akhirnya suaraku hilang.
Masih ada satu pesan lagi dari Andini,
aku segera menutup pesan ini untuk menuju ke pesan terakhir yang belum kubaca.
Kali ini membaca dalam hati saja sudah cukup.
* Andinia
Ini
terhitung pesan ke-12 ku kenapa kau tetap tak membalasnya Ren? Ayah sudah pergi
sehari setelah kau ke Jakarta. Kesehatannya menurun drastis, dokter angkat
tangan kala itu dan Tuhan mengambilnya. Aku ingin sekali angkat tangan juga
saat ini. Aku ingin menyerah. Bukankah
kita sama sekarang, tidak ada ayah dan ibu, tidak ada kakak atau adik, tidak
ada sanak saudara yang lain karena kita memang berasal dari tempat dimana
banyak anak tidak memiliki siapapun.
Aku… aku tak tahu apa
yang kurasakan. Dengan gemetar aku berjalan mendekati tempat tidur dan duduk di
sudutnya. Aku masih sama, dengan angkuh aku berusaha kuat. Tapi… ternyata aku
masih punya hati. Air mataku gugur, semakin kutahan semakin banyak ia terjatuh.
Aku membaringkan tubuhku dan semakin terisak. Aku merasa begitu lemah malam
ini. Angin sepoi yang tadinya terasa menenangkan sekarang masuk dengan hawa
dingin. Dingin sekali, aku menarik lututku sampai ke dada. Isakku tidak bisa
dihentikan, sesak sekali rasanya.
Aku
membuka mata, hari sudah terang. Pintu menuju balkon kamar apartemenku masih
terbuka dan lampu masih menyala. Sepertinya aku menangis sampai tertidur tadi
malam. Aku buru-buru bangun, aku harus kembali ke Batam hari ini juga. Aku
meraih ponsel, membuka situs pesan tiket pesawat online dengan tekat bahwa aku
harus berangkat secepatnya. Setelah beberapa menit menjelajah internet,
akhirnya aku mendapatkan tiket yang kucari. Aku akan pergi siang ini pukul dua,
aku segera bersiap. Membuka laptop dan mengetik surat pengunduran diri dari
perusahaan yang belum genap dua minggu menerimaku sebagai staff. Aku tidak akan
perduli pada apapun yang dikatakan perusahaan milik Rusia ini. Benar-benar
tidak perduli. Segera kucetak surat yang tidak sampai 5 menit kubuat. Kutanda
tangani dan kumasukkan dalam amplop serapi mungkin. Aku berkemas, membereskan semua
barangku. Dari kantor aku akan langsung pergi ke bandara. Ideku berjalan begitu
saja tanpa banyak pertimbangan.
Bagian
personalia menyayangkan pengunduran diriku, begitu juga rekan satu timku.
Sebenarnya aku sudah menyalahi aturan, tapi aku tidak bisa lagi bekerja dengan
baik apalagi dengan kondisi seperti ini. Aku buru-buru ke bandara sebelum
terlambat. Aku check in dan langsung
menuju pesawat setelah hanya 5 menit menunggu di gate. Aku benar-benar tidak sabar, aku duduk dekat jendela.
Perasaanku amburadul, aku baru saja mengundurkan diri dan akan datang ke rumah
Andini yang tak kuketahui lagi keadaannya saat ini.
Tiba-tiba
pikiranku melayang jauh, seakan membuka catatan yang pernah kutulis dahulu.
Sebelum aku memutuskan untuk bekerja di perusahaan asing karena gajinya yang
besar dan masa karir yang menjajikan aku pernah berbincang dengan Andini. Waktu
itu kami kuliah dengan beasiswa, Andini berkata ia ingin menjadi seorang bidan
di daerah yang akan sangat membutuhkan dia. Dan aku menjawabnya dengan
mengatakan bahwa aku ingin bekerja di perusahaan asing, aku ingin menjadi kaya
dan membuka usaha sendiri. Aku akan sukses sekalipun latar belatangku adalah
anak panti asuhan. Mendengar jawabanku kala itu Andini hanya tersenyum tipis.
Aku penasaran, lantas aku bertanya
“Apa bagusnya menjadi bidan di tempat
seperti yang kau inginkan itu? Kau mungkin tidak akan mendapat gaji besar,
mungkin kau tak akan menerima upah dari pasien atau ibu melahirkan yang tidak
memiliki apapun untuk diberikan padamu. Lantas, bagaimana kau bisa
membahagiakan ayah yang telah mengangkatmu?” aku menatap matanya dengan tegas.
Berharap jawabannya tidak akan membuatku pingsan.
Lagi-lagi Andini tersenyum tipis, namun
begitu manis. Aku tidak mengerti kenapa saat aku berusaha menghakimi mimpinya,
ia masih bisa tersenyum semanis itu.
“Iya, kau benar Rena. Aku tidak akan
menjadi kaya, bahkan mungkin aku tidak akan bisa membangun sebuah istana kecil
untuk ayah angkat yang telah mencintaiku dengan sempurna. Tapi, aku yakin ia
akan bangga saat putri yang telah diambilnya dari panti itu mampu mengabdikan
ilmunya bagi negaranya, bagi bangsanya dan ilmunya berguna bagi setiap orang
yang ada di sekitarnya. Itulah caraku membalas cinta ayah” saat itu aku tidak
mengerti dengan keputusannya, banyak pemerintah di negeri ini. Merekalah yang
seharusnya mengurusi masyarakat miskin, mengapa harus mengusik masa dan
cita-cita anak muda. Pikirku waktu itu.
Kami sama-sama
dibesarkan di panti asuhan dengan kondisi yang serba kekurangan. Kami miskin,
namun setelah dewasa ternyata kami memiliki cara pandang yang berbeda akan masa
depan, dan akan apa yang harus kami lakukan pada keadaan di sekitar kami.
Aku menarik nafas pelan
kemudian senyumku mengembang perlahan. Mataku masih terarah pada awan dan
langit yang begitu cerah. Aku merasa aneh, kenapa baru sekarang memahami maksud
kata Andini. Selama ini dia mengabdikan ilmunya dan apapun yang ia kerjakan ia
merasa bahagia. Sedang aku, aku sibuk mencari uang. Aku bahkan terlalu angkuh
dan melupakan siapa aku dahulu. Aku juga membohongi hatiku kalau aku bisa jauh
dari Andini dan om Rudi yang begitu baik. Bahkan aku pergi disaat-saat sulit
hidup mereka. Jahat sekali aku. Saat ini perjalananku hanya diisi dengan sesal,
namun sesal itu tidak bertahan lebih lama. Aku akan memperbaiki semuanya, aku
akan menghibur Andini dan mengembalikan senyumnya. Aku akan belajar mengabdikan
ilmuku untuk kebaikan orang lain yang membutuhkan. Aku tidak akan sibuk pada
diriku sendiri.
Terimakasih sahabatku
Andini yang telah menuliskan catatan indah sepanjang hidupku. Perjalanan
kembali ke Pulau Batam hari ini membuatku bernostalgia dengan suatu masa dimana
sesuatu yang berharga pernah kau ajarkan padaku, dan aku baru mengertinya hari
ini. Yaa, setidaknya akhirnya aku mengerti. Aku mungkin telah mengecewakanmu,
tapi aku berjanji aku akan memberi banyak waktu untuk memperbaikinya
0 komentar:
Post a Comment