Wednesday, September 28, 2016

Nostalgia Sepanjang Jalan Karya Rahel PS

Pyaar…
Suara gelas pecah terdengar mengejutkanku sesaat setelah aku keluar dari dapur. Buru-buru aku menuju kamar, dan benar saja Om Rudi tampak terkejut dengan apa yang baru saja dibuatnya. Tangannya bergetar dan pecahan gelas berserak di lantai. Beliau menatapku dengan tatapan tak berdaya.

“Iya om, tak apa. biar Rena yang bersihkan. Om Rudi istirahat saja lagi.” Aku berjalan mendekati tempat tidurnya dan segera mengais pecahan kaca. Om Rudi berbaring lagi, namun matanya tetap terbuka. Aku yakin ia sedang merasa tak berguna saat ini, ia merasa selalu merepotkan orang lain. Baiklah aku tidak akan mengeluh, ini bukan sesuatu yang perlu dibesar-besarkan.

Petang menjelang, badanku terasa begitu lengket karena seharian membersihkan rumah dan merawat Om Rudi.  Kudengar suara motor matic berhenti di halaman, itu pasti Andini gumamku pelan, kutatap pintu lekat-lekat dan benar… Andini masuk dengan seragam dinasnya.

“Rena… kau masih di sini? Ah, terimakasih.” Andini buru-buru melepas sepatu tingginya, meletakkan tas di atas meja lalu menghampiriku. Aku hanya tersenyum.

“Kau belum mandi? Kau pasti lelah sekali. Mandilah akan kusiapkan makan malam.” Andini berjalan ke dapur. Lantas aku tersadar, aku sibuk memberekan rumah sampai lupa makan dan memasak. Aku segera mandi supaya bisa menggantikan Andini yang sudah lelah bekerja.


“Rena, kau jadi pergi ke Jakarta? Apa tidak bekerja di sini saja? Bukankah Batam punya banyak perusahaan yang pasti akan menerimamu?” Andini memecahkan lamunanku.

“Eh, Andin.. sejak kapan kau berdiri di situ?” Aku terdiam sejenak, sambil berharap Andini mengganti pertanyaannya, tapi dia tetap menatapku.

“Baiklah, aku menyerah akan kujawab. Aku ingin sekali bekerja di Jakarta karena tawarannya lebih baik. Posisiku lebih baik, demikian juga dengan gajinya. Ini pekerjaan yang sudah lama kuimpikan.” Andini terdiam mendengar jawabanku, dan aku pun  demikian. Aku sendiri berusaha mengoreksi jawabanku, apakah itu yang benar-benar kurasakan dan yang kuinginkan.

“Aku tidak akan melupakanmu Rena, terimakasih ya sudah mau tinggal beberapa waktu di rumahku sebelum pergi ke Jakarta. Ayah senang sekali menyadari aku punya sahabat sepertimu.” Kali ini aku hanya mampu membalasnya dengan senyum, hanya itu yang bisa kulakukan. Sejujurnya aku juga senang berada di sini, aku merasa ada, dan berguna. Setelah sekian lama aku tak merasakannya.

            Keesokkannya aku sudah ada di bandara, aku sungguh yakin akan merasa lebih baik di Jakarta. Aku menguatkan hati, ini tidak akan menyakitkan. Andini akan baik-baik saja dengan ayahnya. Mereka orang yang hebat, aku tidak bisa terus bersama mereka dan melupakan impianku. Apapun yang terjadi aku akan berangkat. Andini memang sahabatku, kami sangat dekat bahkan melebihi saudara, tapi mimpiku tetaplah sama. Hari itu dengan tega aku memutuskan pergi ke Jakarta, meninggalkan Andini sendirian merawat ayahnya yang sakit keras. Sepanjang perjalanan aku hanya berusaha menguatkan diriku sendiri. Iya, hanya itu yang kulakukan sepanjang perjalanan menuju Jakarta. Kemudian aku menonaktifkan ponsel. Berharap aku bisa kuat tanpa harus memberi dan menerima kabar dari Andini. Itu yang kulakukan, berusaha menjadi orang yang tidak punya hati, pikirku itu demi kebaikanku.

            Telah tiga hari aku bekerja di perusahaan asing yang sudah lama kuimpikan. Dan terhitung sudah seminggu aku tinggal di Jakarta. Ternyata kesibukan membuatku baik-baik saja. Beberapa waktu aku tinggal bersama Andini dan ayahnya, sejak kecil kami bersahabat dan dengan kesibukan padat, ternyata mampu membuatku sejenak melupakan kesedihan kalau aku harus berpisah dengan Andini.
***
            Malam ini begitu tenang, aku berdiri di balkon apartemen baruku. Apartemen yang diberikan perusahaan sebagai tempat tinggalku. Angin berhembus sepoi-sepoi menambah aroma yang menenangkan. Memandang kota Jakarta dari lantai 41 ternyata begitu menyenangkan, salama di Jakarta baru kali ini aku bisa menikmati malam. Melihat lampu gemerlapan kota Jakarta dan kendaraan yang memadati jalan membuatku seakan terhibur sendiri. Tiba-tiba aku teringat pada ponselku yang sudah kunon-aktifkan selama seminggu. Aku buru-buru masuk, menarik laci dan meraih ponselku. Kuaktifkan dengan segera, beberapa menit berlalu dan belasan pesan singkat masuk bergantian. 12 pesan dari Andini, 3 dari operator, 2 dari temanku. Aku sedikit ragu membukanya, pertama pesan dari temanku, ternyata isinya tidak terlalu penting. Kedua dari operator, dan ini ternyata lebih tidak penting dari sebelumnya. Baiklah yang terakhir dari Andini, 12 pesan ku buka dari yang paling awal dikirim.

“Dia menanyakan apakah aku sudah sampai di Jakarta, em dia menanyakan kabarku, baiklah kemudian dia masih menanyakan kabarku sampai pesan ke 10, sejauh ini masih baik-baik saja,” bacaku santai sambil menarik nafas lega. Kalau ia menanyakan kabarku berarti ia juga baik-baik saja. Aku menggeser layar ke bawah, pesan ke 11,

“Rena, apa kau baik-baik saja? Aku selalu berusaha menghubungimu, tapi nomormu tidak aktif. Semoga itu bukan pertanda sedang terjadi hal buruk denganmu. Yah, karena hal buruk itu sedang menimpaku. Ayah sudah pergi Ren, tadi pagi pukul 07.10. Rasanya aku ingin pergi menemani ayah, andai aku bisa.” Suaraku bergetar, awalnya aku bersemangat membaca pesan ini keras-keras sampai akhirnya suaraku hilang.

Masih ada satu pesan lagi dari Andini, aku segera menutup pesan ini untuk menuju ke pesan terakhir yang belum kubaca. Kali ini membaca dalam hati saja sudah cukup.
* Andinia
Ini terhitung pesan ke-12 ku kenapa kau tetap tak membalasnya Ren? Ayah sudah pergi sehari setelah kau ke Jakarta. Kesehatannya menurun drastis, dokter angkat tangan kala itu dan Tuhan mengambilnya. Aku ingin sekali angkat tangan juga saat ini. Aku ingin menyerah.  Bukankah kita sama sekarang, tidak ada ayah dan ibu, tidak ada kakak atau adik, tidak ada sanak saudara yang lain karena kita memang berasal dari tempat dimana banyak anak tidak memiliki siapapun.

Aku… aku tak tahu apa yang kurasakan. Dengan gemetar aku berjalan mendekati tempat tidur dan duduk di sudutnya. Aku masih sama, dengan angkuh aku berusaha kuat. Tapi… ternyata aku masih punya hati. Air mataku gugur, semakin kutahan semakin banyak ia terjatuh. Aku membaringkan tubuhku dan semakin terisak. Aku merasa begitu lemah malam ini. Angin sepoi yang tadinya terasa menenangkan sekarang masuk dengan hawa dingin. Dingin sekali, aku menarik lututku sampai ke dada. Isakku tidak bisa dihentikan, sesak sekali rasanya.

            Aku membuka mata, hari sudah terang. Pintu menuju balkon kamar apartemenku masih terbuka dan lampu masih menyala. Sepertinya aku menangis sampai tertidur tadi malam. Aku buru-buru bangun, aku harus kembali ke Batam hari ini juga. Aku meraih ponsel, membuka situs pesan tiket pesawat online dengan tekat bahwa aku harus berangkat secepatnya. Setelah beberapa menit menjelajah internet, akhirnya aku mendapatkan tiket yang kucari. Aku akan pergi siang ini pukul dua, aku segera bersiap. Membuka laptop dan mengetik surat pengunduran diri dari perusahaan yang belum genap dua minggu menerimaku sebagai staff. Aku tidak akan perduli pada apapun yang dikatakan perusahaan milik Rusia ini. Benar-benar tidak perduli. Segera kucetak surat yang tidak sampai 5 menit kubuat. Kutanda tangani dan kumasukkan dalam amplop serapi mungkin. Aku berkemas, membereskan semua barangku. Dari kantor aku akan langsung pergi ke bandara. Ideku berjalan begitu saja tanpa banyak pertimbangan.

            Bagian personalia menyayangkan pengunduran diriku, begitu juga rekan satu timku. Sebenarnya aku sudah menyalahi aturan, tapi aku tidak bisa lagi bekerja dengan baik apalagi dengan kondisi seperti ini. Aku buru-buru ke bandara sebelum terlambat. Aku check in dan langsung menuju pesawat setelah hanya 5 menit menunggu di gate. Aku benar-benar tidak sabar, aku duduk dekat jendela. Perasaanku amburadul, aku baru saja mengundurkan diri dan akan datang ke rumah Andini yang tak kuketahui lagi keadaannya saat ini.

            Tiba-tiba pikiranku melayang jauh, seakan membuka catatan yang pernah kutulis dahulu. Sebelum aku memutuskan untuk bekerja di perusahaan asing karena gajinya yang besar dan masa karir yang menjajikan aku pernah berbincang dengan Andini. Waktu itu kami kuliah dengan beasiswa, Andini berkata ia ingin menjadi seorang bidan di daerah yang akan sangat membutuhkan dia. Dan aku menjawabnya dengan mengatakan bahwa aku ingin bekerja di perusahaan asing, aku ingin menjadi kaya dan membuka usaha sendiri. Aku akan sukses sekalipun latar belatangku adalah anak panti asuhan. Mendengar jawabanku kala itu Andini hanya tersenyum tipis. Aku penasaran, lantas aku bertanya

“Apa bagusnya menjadi bidan di tempat seperti yang kau inginkan itu? Kau mungkin tidak akan mendapat gaji besar, mungkin kau tak akan menerima upah dari pasien atau ibu melahirkan yang tidak memiliki apapun untuk diberikan padamu. Lantas, bagaimana kau bisa membahagiakan ayah yang telah mengangkatmu?” aku menatap matanya dengan tegas. Berharap jawabannya tidak akan membuatku pingsan.

Lagi-lagi Andini tersenyum tipis, namun begitu manis. Aku tidak mengerti kenapa saat aku berusaha menghakimi mimpinya, ia masih bisa tersenyum semanis itu.

“Iya, kau benar Rena. Aku tidak akan menjadi kaya, bahkan mungkin aku tidak akan bisa membangun sebuah istana kecil untuk ayah angkat yang telah mencintaiku dengan sempurna. Tapi, aku yakin ia akan bangga saat putri yang telah diambilnya dari panti itu mampu mengabdikan ilmunya bagi negaranya, bagi bangsanya dan ilmunya berguna bagi setiap orang yang ada di sekitarnya. Itulah caraku membalas cinta ayah” saat itu aku tidak mengerti dengan keputusannya, banyak pemerintah di negeri ini. Merekalah yang seharusnya mengurusi masyarakat miskin, mengapa harus mengusik masa dan cita-cita anak muda. Pikirku waktu itu.

Kami sama-sama dibesarkan di panti asuhan dengan kondisi yang serba kekurangan. Kami miskin, namun setelah dewasa ternyata kami memiliki cara pandang yang berbeda akan masa depan, dan akan apa yang harus kami lakukan pada keadaan di sekitar kami.

Aku menarik nafas pelan kemudian senyumku mengembang perlahan. Mataku masih terarah pada awan dan langit yang begitu cerah. Aku merasa aneh, kenapa baru sekarang memahami maksud kata Andini. Selama ini dia mengabdikan ilmunya dan apapun yang ia kerjakan ia merasa bahagia. Sedang aku, aku sibuk mencari uang. Aku bahkan terlalu angkuh dan melupakan siapa aku dahulu. Aku juga membohongi hatiku kalau aku bisa jauh dari Andini dan om Rudi yang begitu baik. Bahkan aku pergi disaat-saat sulit hidup mereka. Jahat sekali aku. Saat ini perjalananku hanya diisi dengan sesal, namun sesal itu tidak bertahan lebih lama. Aku akan memperbaiki semuanya, aku akan menghibur Andini dan mengembalikan senyumnya. Aku akan belajar mengabdikan ilmuku untuk kebaikan orang lain yang membutuhkan. Aku tidak akan sibuk pada diriku sendiri.

Terimakasih sahabatku Andini yang telah menuliskan catatan indah sepanjang hidupku. Perjalanan kembali ke Pulau Batam hari ini membuatku bernostalgia dengan suatu masa dimana sesuatu yang berharga pernah kau ajarkan padaku, dan aku baru mengertinya hari ini. Yaa, setidaknya akhirnya aku mengerti. Aku mungkin telah mengecewakanmu, tapi aku berjanji aku akan memberi banyak waktu untuk memperbaikinya




0 komentar:

Post a Comment