Awal
bulan Mei ini, kita terhenyak dengan 3 kasus pembunuhan sadis yang terjadi di
Indonesia. Kasus ini menjadi pembicaraan banyak pihak mulai dari politisi, ahli
hukum, aktivis hingga masyarakat awam. Bahkan apabila kita memasukkan kata
kunci “pembunuhan” di Google Search, maka ketiga kasus ini berada urutan
teratas. Pemberitaan ini bahkan masih bertahan dalam beberapa hari dan akan
terus berlanjut seiring penyelidikan dan penyidikan terduga tersangka.
Ketiga
kasus itu adalah kasus pembunuhan dan pemerkosaan seorang siswi SMP, Yuyun,
oleh 14 orang di Bengkulu. Kemudian kasus pembunuhan dosen, Nuraini Lubis oleh
mahasiswanya sendiri di Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. Terakhir kasus
yang cukup menggemparkan penduduk Batam, pembunuhan Feby Kurnia, seorang
mahasiswi Universitas Gadjah Mada yang dibunuh oleh cleaning service kampus.
Latar
pembunuhan ketiga kasus tersebut berbeda – beda, kasus Yuyun, diduga karena
pembunuh – pembunuh dalam keadaan mabuk. Kasus Nuraini Lubis diduga karena
dendam masalah nilai. Sedangkan kasus Feby Kurnia, karena masalah uang.
Pembunuhan yang sangat tidak manusiawi itu sangat menyedihkan apalagi melihat
alasan - alasan pelaku yang tidak masuk akal.
Semakin
menyedihkan karena ketiga kasus tersebut berkaitan dengan dunia pendidikan
sehingga menodai hari pendidikan. Hari pendidikan yang seharusnya merupakan
hari peringatan sekaligus pengharapan kualitas pendidikan Indonesia semakin
baik justru “dihadiahi” oleh ketiga kasus mengerikan itu. Pendidikan seolah –
olah tidak mampu mencegah terjadinya ketiga kasus tersebut.
Mengapa
seharusnya pendidikan dapat mencegah terjadinya ketiga kasus tersebut?
Pendidikan adalah sebuah proses untuk mengubah manusia menjadi lebih baik, dari
tidak tahu menjadi tahu, dan dari tidak bisa menjadi bisa. Orang tua atau guru
kita pasti pernah mengajari apa itu yang baik dan buruk, apabila kita
mengerjakan sesuatu apa balasannya dan lain – lain. Itulah mengapa pendidikan
dapat mencegah seseorang melakukan perbuatan buruk.
Namun
faktanya, ketiga kasus itulah yang terjadi. Padahal salah satu kasus itu
dilakukan oleh orang yang sedang mengenyam pendidikan tinggi. Ternyata,
tindakan yang dia lakukan sama dengan pelaku – pelaku kasus lainnya yang
berpendidikan rendah. Sarkasmenya adalah sekolah atau tidak sekolah perilakunya
sama saja di Indonesia.
Padahal
apabila kita membandingkan negara – negara maju di dunia yang memiliki banyak
lulusan pendidikan tinggi memiliki angka kriminalitas yang sangat kecil. Misalnya
Islandia, Swiss, Singapura dan Selandia Baru. Rata – rata kasus kriminalitas di
sana sangat kecil.
Jika
kalian tidak setuju dengan itu karena negara – negara maju memiliki jumlah
penduduk lebih sedikit bila dibandingkan di Indonesia maka dasar itu sangat
tidak masuk akal. Karena tidak akan ada yang berani meninggalkan rumahnya dalam
keadaan tidak terkunci di Indonesia misalnya saja di Batam yang penduduknya
lebih sedikit bila dibandingkan Singapura. Jadi, jelas ada pembeda antara
Indonesia dengan negara – negara maju lainnya salah satunya pendidikan.
Lalu
mengapa moral dan pemikiran hasil dari pendidikan di Indonesia seolah – olah
sama dengan mereka yang kurang mendapatkan pendidikan? Apa yang salah? Salah
satu penyebabnya adalah kurangnya bimbingan orang tua.
Harus
diakui, banyak orang tua tidak siap di Indonesia. Mereka tidak tahu betapa
sulitnya membangun keluarga yang berkualitas. Kebanyakan mereka menikah dengan
modal cinta dan bahkan nafsu belaka. Faktanya, banyak sekali di lingkungan kita
orang tua yang tidak mampu tapi memiliki anak lebih dari 2 orang. Anak –
anaknya? Tentu saja terlantar dan bergaul dengan orang – orang tidak jelas.
Keluarga
adalah tempat pertama kali bagi si anak mengenyam pendidikan. Mendidik seorang
anak bukanlah seperti membalikkan telapak tangan. Pendidikan yang diberikan
kepada si anak juga tidak begitu saja diserap dengan mudah. Butuh proses yang
sangat panjang bahkan hingga si anak beranjak remaja.
Model
kebanyakan orang tua di Indonesia adalah si ayah bekerja keras siang dan malam
dan menganggap tugas merawat dan membimbing anak adalah Ibu. Sedangkan si Ibu
sibuk membereskan rumah dan mengurus anak. Kalau sudah capai anak disuruh tidur
siang, menonton televise atau main diluar tanpa bimbingan orang tua. Jadi,
kebanyakan peran membimbing anak justru lebih banyak dari sekolah daripada dari
orang tua.
Pemerintah
hendaknya lebih giatkan lagi sosialisasi – sosialisasi yang berhubungan dengan
keluarga. Bagi yang sudah berkeluarga,
seriuslah dalam membimbing anaknya dan jaga dia dari lingkungan yang buruk.
Bagi calon orang tua, pikirkan lagi secara serius sebelum kalian menikah apakah
sudah siap secara fisik dan mental untuk menjadi orang tua.
Selanjutnya
inovasi dan kreativitas di bidang pendidikan. Sejak dulu hingga sekarang
kualitas dan model pendidikan di Indonesia hampir sama saja bahkan cenderung
menurun. Jika dulu Indonesia mampu menjadi model pendidikan bagi negara –
negara di Asia Tenggara, sekarang Singapura dan Malaysia yang menjadi modelnya.
Inovasi dan krativitas tenaga pengajar itu sangat penting karena mereka akan
menjadi model teladan bagi murid – muridnya.
Tenaga
pengajar di Indonesia kebanyakan bekerja dengan setengah hati dan bukan tulus
memberikan pendidikan bagi murid – muridnya. Mungkin, salah satu faktornya
adalah untuk mengejar status PNS yang menjadi idaman setiap orang karena
kehidupannya terjamin. Jadi, pendidikan instan dan tidak menyentuh hati
muridnyalah hasilnya.
Pemerintah
perlu memperketat seleksi bukan hanya dari tes – tes yang diberikan. Salah
satunya psikologi si calon pengajar. Kemudian kualitas kurikulum pendidikan,
terus ditingkatkan khususnya pendidikan moral, sosial, agama dan lingkungan.
Pemerintah juga dapat melatih guru – guru untuk membuat suasana belajar yang
aplikatif dan mampu diserap dan dihayati oleh murid – murinya.
Harapan
kita di momen hari pendidikan ini adalah, tidak ada lagi korban – korban dari
keberingasan, kebodohan, dan sikap barbar akibat randahnya kualitas pendidikan
di Indonesia. Perlu pemikiran yang serius dari seluruh pemangku kepentingan
untuk menciptakan bangsa yang lebih baik. Pendidikan itu layaknya “air” yang
menghancurkan “batu” simbol dari kebodohan, butuh waktu yang lama untuk
menghancurkannya. “Air” itu dapat menghilangkan dahaga ketika diminum, tetapi
hanya yang jernih, bersih, dan sucilah yang dapat diminum. (B)
sumber gambar : http://majalah1000guru.net/2015/05/pendidikan-menaikkan-derajat/