Tuesday, January 27, 2015

Biarkan Mereka Bermimpi


           Ba’da maghrib. Seorang lelaki usia 30-an menyalakan TV cembung 21 inch di ruang tengah rumahnya. Lelaki itu kemudian duduk lesehan dilantai rumahnya beralaskan karpet tipis. Lalu membuka songkok hitamnya dan mengibaskan benda tersebut di area dekat lehernya. Meskipun sudah dibasuh oleh air wudhu untuk sholat maghrib dan mengaji alquran tadi, lelaki itu masih saja mengibaskan songkoknya, gerah.
            Selang beberapa saat, keluarlah seorang anak laki-laki usia 5 tahun. Ia putra lelaki itu. Penampilannnya sama dengan bapaknya, masih menggunakan baju koko dengan songkok hitam. Ia kemudian bergabung dengan sang bapak.
            “Adek sudah ngaji?” lelaki itu bertanya.
            “Sudah, pak” anak itu menjawab singkat. Sibuk dengan mobil mainan barunya.
            “Ooh, baguslah. Pintar anak bapak.” Lelaki itu berujar singkat. Sang anak diam.
            Lelaki itu kembali memelototi TV. Terlihat acara kejuaran dunia balap motor. Sebentar lagi balap paling bergengsi itu akan dimulai. Para pembalap sedang berancang-ancang mengambil start. Momen paling krusial dalam balapan. Tak lama setelahnya balap dimulai. Para pembalap menggeber dengan maksimal tunggangannya di lintasan lurus dan melambat ketika masuk tikungan. Begitulah adanya. Andaikan saja ada pembalap yang menggeber paksa motornya saat masuk tikungan, tentulah dia akan terlempar keluar lintasan.
            Lelaki itu tak berkedip. Dari usia remaja sudah menyukai olahraga yang satu ini. Pembalap nomor 47-lah idolanya. Pembalap yang kini sudah veteran, namun tetap mampu bersaing dengan pembalap muda. Dan kini, pembalap nomor 47 itu sedang berkejaran dengan pembalap nomor 92, salah satu pendatang baru yang fenomenal.
            Berkali-kali lelaki itu berseru tertahan ketika pembalap favoritnya hampir menyalip si nomor 92. Namun di seruan entah kali keberapa muncul sang istri dari dapur, membawa sepiring pisang goreng dan teh manis.
            “Ini, pak. Diminum dulu tehnya.” Sang istri berujar.
            “Iya, bu” lelaki itu berkata singkat.
            Tiba-tiba, sang anak yang sedari tadi sibuk dengan mainannya menyumbang suara.
            “Bapak suka balap, ya?” kata sang anak.
            “Iya, adek. Kenapa memangnya?” lelaki itu menjawab penuh minat.
            “Adek mau jadi pembalap, kayak yang biru itu, yang nomor 47.” Sang anak menunjuk ke layar TV.
            Lelaki itu tersenyum. Kemudian bersuara, “Boleh saja adek, asalkan adek mau berusaha.”
            “Ye..ye jadi pembalap.” Anak laki-laki itu sumringah sambil mengepalkan tinjunya.
            Sang ibu yang baru bergabung beberapa menit lalu kemudian turut bersuara, “Jangan jadi pembalap lah adek, jadi yang lain aja.”
            “Tak mau, jadi pembalap aja.” Sang anak memonyongkan bibirnya.
            “Ya tidak apa lah bu. Biarkan dia memilih cita-citanya. Selama itu positif kita dukung. Lagi pula, kunci utama agar negara ini maju adalah dengan membebaskan anak-anak mudanya bermimpi positif. “ lelaki itu kembali berujar.
            “Tapi kan jadi pembalap bahaya, pak. “ sang istri berkata lagi.
            “Iya, bu. Tapi setidaknya itu positif. Seperti yang bapak bilang tadi, biarkan dia bercita-cita. Jangan belum apa-apa sudah dilarang, sudah dijatuhkan. Itulah yang terjadi pada orang-orang pintar di negeri kita. Tidak diberi kesempatan untuk menunjukkan bakatnya. Seringkali diabaikan oleh penguasa dan pada akhirnya negara lain yang peduli menikmati penemuan mereka.” Lelaki itu lalu tersenyum penuh arti memandangi istrinya.
            “Iya, pak. Iya.” Sang istri kemudian tersenyum tersipu. Kehangatan ba’da maghrib itu ditutup dengan kemenangan pembalap nomor 47.
           

           

0 komentar:

Post a Comment