Ba’da
maghrib. Seorang lelaki usia 30-an menyalakan TV cembung 21 inch di ruang
tengah rumahnya. Lelaki itu kemudian duduk lesehan dilantai rumahnya beralaskan
karpet tipis. Lalu membuka songkok hitamnya dan mengibaskan benda tersebut di
area dekat lehernya. Meskipun sudah dibasuh oleh air wudhu untuk sholat maghrib
dan mengaji alquran tadi, lelaki itu masih saja mengibaskan songkoknya, gerah.
Selang beberapa saat, keluarlah seorang anak laki-laki
usia 5 tahun. Ia putra lelaki itu. Penampilannnya sama dengan bapaknya, masih
menggunakan baju koko dengan songkok hitam. Ia kemudian bergabung dengan sang
bapak.
“Adek sudah ngaji?” lelaki itu bertanya.
“Sudah, pak” anak itu menjawab singkat. Sibuk dengan
mobil mainan barunya.
“Ooh, baguslah. Pintar anak bapak.” Lelaki itu berujar
singkat. Sang anak diam.
Lelaki itu kembali memelototi TV. Terlihat acara kejuaran
dunia balap motor. Sebentar lagi balap paling bergengsi itu akan dimulai. Para
pembalap sedang berancang-ancang mengambil start. Momen paling krusial dalam
balapan. Tak lama setelahnya balap dimulai. Para pembalap menggeber dengan maksimal
tunggangannya di lintasan lurus dan melambat ketika masuk tikungan. Begitulah
adanya. Andaikan saja ada pembalap yang menggeber paksa motornya saat masuk
tikungan, tentulah dia akan terlempar keluar lintasan.
Lelaki itu tak berkedip. Dari usia remaja sudah menyukai
olahraga yang satu ini. Pembalap nomor 47-lah idolanya. Pembalap yang kini
sudah veteran, namun tetap mampu bersaing dengan pembalap muda. Dan kini,
pembalap nomor 47 itu sedang berkejaran dengan pembalap nomor 92, salah satu
pendatang baru yang fenomenal.
Berkali-kali lelaki itu berseru tertahan ketika pembalap
favoritnya hampir menyalip si nomor 92. Namun di seruan entah kali keberapa
muncul sang istri dari dapur, membawa sepiring pisang goreng dan teh manis.
“Ini, pak. Diminum dulu tehnya.” Sang istri berujar.
“Iya, bu” lelaki itu berkata singkat.
Tiba-tiba, sang anak yang sedari tadi sibuk dengan
mainannya menyumbang suara.
“Bapak suka balap, ya?” kata sang anak.
“Iya, adek. Kenapa memangnya?” lelaki itu menjawab penuh
minat.
“Adek mau jadi pembalap, kayak yang biru itu, yang nomor
47.” Sang anak menunjuk ke layar TV.
Lelaki itu tersenyum. Kemudian bersuara, “Boleh saja adek,
asalkan adek mau berusaha.”
“Ye..ye jadi pembalap.” Anak laki-laki itu sumringah
sambil mengepalkan tinjunya.
Sang ibu yang baru bergabung beberapa menit lalu kemudian
turut bersuara, “Jangan jadi pembalap lah adek, jadi yang lain aja.”
“Tak mau, jadi pembalap aja.” Sang anak memonyongkan
bibirnya.
“Ya tidak apa lah bu. Biarkan dia memilih cita-citanya.
Selama itu positif kita dukung. Lagi pula, kunci utama agar negara ini maju
adalah dengan membebaskan anak-anak mudanya bermimpi positif. “ lelaki itu
kembali berujar.
“Tapi kan jadi pembalap bahaya, pak. “ sang istri berkata
lagi.
“Iya, bu. Tapi setidaknya itu positif. Seperti yang bapak
bilang tadi, biarkan dia bercita-cita. Jangan belum apa-apa sudah dilarang,
sudah dijatuhkan. Itulah yang terjadi pada orang-orang pintar di negeri kita.
Tidak diberi kesempatan untuk menunjukkan bakatnya. Seringkali diabaikan oleh
penguasa dan pada akhirnya negara lain yang peduli menikmati penemuan mereka.”
Lelaki itu lalu tersenyum penuh arti memandangi istrinya.
“Iya, pak. Iya.” Sang istri kemudian tersenyum tersipu.
Kehangatan ba’da maghrib itu ditutup dengan kemenangan pembalap nomor 47.
0 komentar:
Post a Comment