LPM Paradigma - Mahasiswa memang dianggap sebagai insan yang intelektual. Insan yang tidak hanya fokus akan akademik tetapi juga dengan hal sekitar. Kepekaan ini terlihat dan terdengar saat menyuarakan suara rakyat terhadap kekuasaan pada tahun 1966 dan 1998. Mereka berani melawan kekuasaan politik pada masa itu.
Berbeda dengan masa sekarang ini, mahasiswa lebih disibukkan dengan urusan akademik saja, dan kurang peduli akan masalah-masalah sekitar. Bahkan ada beberapa mahasiswa menolak mentah-mentah mengenai kepedulian sosial.
Padahal, memasuki tahun 2014 ini suhu politik di Indonesia sangatlah panas, salah satu kepanasan yang bisa dirasakan adalah saat di dunia maya, berbagai postingan-postingan politik. Iklan-iklan juga terpampang diberbagai media, tidak jarang juga kita temui baliho, poster, spanduk digunakan untuk promosi. Banyak stategi yang dilancarkan tim sukses kedua kandidat untuk menangkan pemilu 2014. Target dari promosi ini lebih membidik pemilih muda.
Jika ditotalkan, jumlah pemilih pemuda pada usia 17-31 memiliki persentase sekitar 40% dari populasi nasional. Jumlah ini terbilang cukup besar dan memicu potensi direbutkan.
Mahasiswa memang dijadikan sasaran empuk dari kepentingan berbau politik. Ada yang melakukan langsung di lingkungan kampus, ada juga yang masuk memalui organisasi ekternal kampus tertentu.
Untuk menangani masalah ini, dikti mengeluarkan aturan mengenai "Pelarangan Organisasi Ekstra Kampus atau Partai Politik dalam Kehidupan Kampus” yang termuat dalam SK DIRJEN DIKTI Nomor: 26/DIKTI/KEP/2002. Melalui ketetapan itu, Dikti dengan tegas melarang segala bentuk organisasi ekstra kampus dan Partai Politik membuka Sekretariat (Perwakilan) dan atau melakukan aktivitas politik praktis di kampus."
![]() |
Pesan dari Pers Kampus (foto by lpm) |
Di dalam peraturan ini sudah sangat jelas dilarang berbagai jenis politik yang masuk ke dalam lingkungan kampus. Tetapi ironinya saat kami melakukan kegiatan di sekitarakan kampus, ada stiker salah satu calon presiden 2014 ditempel dilingkungan kampus. Hal ini membuat tanda tanya besar, apakah kurang kontrolnya organisasi eksekutif terhadap hal ini, ataukah kelalaian mahasiswa itu sendiri.
Menjawab pertanyaan ini, kami mencoba mengunjungi seorang dosen yang mengajar dikampus, dia mengatakan bahwa ada beberapa tempat yang tidak boleh dilakukan kampanye, salah satunya adalah lingkungan kampus. Peraturan dikti tentang hal ini juga sudah sangat jelas. Saya juga melihat bukan hanya politik yang masuk ke kampus, tetapi juga organisasi luar sudah mulai masuk ke kampus ujar dosen yang dulunya sempat aktif diberbagai organisasi. Kalau hanya untuk berbicara dan berbincang-bincang soal pilihan nantinya tidak masalah, tapi kalau sudah menempel poster itu tidak boleh.
![]() |
Posisi stiket ditempelkan ( foto by lpm) |
Kurangnya kontrol politik dikampus mungkin menjadi kendala hal ini, mahasiswa seharusnya lebih peka terhadap politik praktis yang masuk kekampus. Saat kami menanyakan kepada keamanan kampus, mereka merasa tidak tau bahwa ada yang menempel stiker politik dikampus, dan saat kami menyebutkan tempatnya. Mereka langsung mendatangi tempatnya dan merobek stiker kampanye itu.
Pengetahuan mengenai ketetapan dikti seharusnya lebih disampaikan kepada semua civitas kampus, agar kita semua bisa melakukan kontrol terhadap hal ini. Saat kami melakukan wawancara kepada organisasi eksekutif, salah seorang dari mereka mengatakan bahwa memang ada seorang mahasiswa yang menggunakan baju salah satu calon saat masuk kedalam kampus. Dia juga menggunakan pin salah satu kandidat. Cuman kalau soal nempel kami tidak tau ujar salah seorang anggota organisasi ini.
![]() |
Stiker saat sudah dicabut ( foto by lpm ) |
Alumni organisasi ini juga menyampaikan kalau pernah dulu seorang alumni membawa mobil politik ke kampus, tetapi tidak dilarang, mungkin karena segan dengan senior. Seharusnya memang organisasi eksekutif yang lebih kontrol terhadap politik yang masuk ke kampus tambah seorang mahasiswa ini saat ditemui diparkiran politeknik negeri batam. (KM)
@LPMPolibatam