Senin, 19 Mei 2014

Sebelum Subuh


SEBELUM SUBUH

          Pagi itu siap dengan pakaian yang sebelumnya telah dipilih, saya duduk diantara segerombolan mata yang menatap tajam kepada saya. Gaun saya berwarna putih dan bercahaya seperti berlian yang terkena pancaran matahari. Serasi dengan warna pada seluruh ruangan. Padat dengan hiasan, pernak-pernik, dan bunga-bunga yang seluruhnya juga adalah putih. Persis seperti yang telah saya rancang. Semua orang bahkan mengenakan pakaian putih-putih. Beberapa saja yang memakai warna berbeda namun tidak mengganggu keserasian yang ada.

Masih diposisi duduk yang sama, setiap orang seperti hendak menelan saya bulat-bulat kedalam pandangan mereka, membuat peluh yang sedari tadi keluar dari tubuh saya bertambah deras. Sekarang sudah lewat setengah jam dari waktu yang telah ditentukan tetapi kamu belum juga datang. Saya diam, seluruh hadirin diam. Rasa khawatir saya disusul oleh rasa khawatir Ayahmu yang sejak lima belas menit belakangan mondar-mandir didepan saya seperti setrika yang akan melahap kusut si baju. Kali ini setrika besar itu tidak membuat licin pikiran saya melainkan membuat saya bertambah kacau. Sementara itu keluarga besar kita duduk dengan tenangnya disekeliling saya. Tepat disamping Ayah saya, Ibu saya dan Ibumu dengan setia mendampingi saya.  Berdebar bahagia saya hari ini dibuat suram oleh keterlambatan kamu.
          “Dimana mempelai lelaki?”. Tanya seorang tamu undangan.
          “Dia daritadi didepan. Diajak masuk tidak mau. Malu katanya”. Jawab seorang sahabat.
          “Malu melihat pengantin perempuannya mungkin, hahahaa”. Gurau seorang lelaki paruh baya.

          Seluruh hadirin tertawa lucu mendengar perkataan bapak tadi. Diruangan ini kelihatannya cuma saya yang jengkel kepada kamu. Kamu bercanda bahkan pada hari akad yang selama ini kita nanti-nanti. Lelaki macam apa yang malu memasuki ruangan pernikahannya sendiri. Saya mulai berciap-ciap dalam hati. Mengeluarkan beberapa pemikiran aneh. Tidak tau kenapa, rasanya saya ingin menyusul kamu ditempat kamu berdiri sekarang dan memaki hamun kamu. Sudah tidak peduli apakah pernikahan ini akan diteruskan atau bahkan tidak perlu terjadi sama sekali sebelum saya akhirnya kecewa. Pikir saya, mengucapkan akad didepan kedua orang tua dan seluruh manusia yang akan mengantar kepada hari bahagia kita saja kamu malu, apalagi saat nanti harus hidup berdampingan dengan saya selamanya. Mungkin kamu akan tutup muka setiap kali menemani saya belanja. Atau mungkin kamu akan menemani saya belanja dengan ember menutupi kepala kamu.

          Tanpa pikir panjang saya melangkahkan kaki menuju belakang gedung. Alasan saya mau ke toilet. Aslinya saya ingin kabur dari pesta ini. Awalnya saya tidak sabar menanti kedatangan kamu mengenakan baju pengantin pasangan dari yang saya kenakan. Namun akhirnya semua berubah jadi marah besar. Saya menangis sejadi-jadinya berlari kedepan gedung untuk mencari kamu seperti rencana awal saya. Dari jendela saya lihat raut wajah keluarga besar kita yang tak sabar menunggu. Hari ini akan jadi hari yang sia-sia bagi setiap kepala yang telah meluangkan waktu untuk menghadiri akad nikah kita. Setelah bertemu kamu nanti semua akan berakhir. Bahkan setiap janji dan mimpi yang pernah kita rajut tidak akan berakhir apa-apa. Saya akan melupakan pernah mengenal kamu.

          Dua menit melangkah akhirnya saya sampai didepan gedung. Mata saya menyapu seluruh sudut pandang namun tak juga menemukan kamu. Karena lelah, saya menangis dan bersandar disalah satu tiang. Sambil meremas-remas gaun pengantin, saya duduk berselonjor menunggu kamu datang.

Saat mata saya mulai membengkak oleh tangisan, dari dalam gedung terdengar sorak sorai gembira. Seperti gema yel-yel tanda seseorang tengah memenangkan sesuatu. “Ada apa itu?”. Tanya saya dalam hati.

          Karena penasaran akhirnya saya memutuskan membuka pintu ruangan. Benar saja, suatu hal mengagetkan terjadi. Seorang lelaki yang hampir saja saya bunuh itu tiba-tiba duduk manis beberapa centimeter dari tempat duduk saya tadi. Seseorang itu baru saja selesai mengucapkan ijab Kabul didepan ayah saya disambut sorak-sorai seluruh tamu undangan. Marah saya padam perlahan, seketika berubah menjadi senyum tersipu malu. Dari yang bukan siapa-siapa saya kini telah sah jadi istri kamu.

Pelan-pelan saya berjalan dari tengah pintu seperti seorang ratu yang tengah menuju singgahsananya. Seluruh mata kini beralih kepada saya, termasuk kamu. Kamu melirik saya malu. Debar jantung saya semakin kencang saat jarak saya dan kamu semakin dekat. Kamu kini tertunduk dan sesekali melirik lagi kepada saya. Dengan iringan suara kompang, ayah membawa saya kepada kamu. Kamu menyambut tangan saya, menggenggamnya erat dan menciumi kening saya hangat. Haru dan bahagia saya kini bercampur jadi satu.


Sayup terdengar teriakan suara Ibu, suara yang sama seperti setiap pagi biasanya. Sekarang volume suaranya semakin kencang dan terasa mengoyak-ngoyak isi kuping. Saya membuka mata dan dengan segera duduk tegap dari tidur lelap saya. Kepala saya arahkan kepintu untuk melihat jam yang tepat menempel didinding depan kamar saya.
“Masih pagi buuu, baru jam setengah lima”. Ucap saya
“Ya sama saja terlambat namanya kalau nanti tidak sholat subuh. Buruan bangun. Mandi dulu sebelum adzan. Biar nanti pas sholat sudah bersih semua. Kamu duluan, nanti gantian sama adik-adik”. Balas ibu.
Okeeeh okeeehhhh”.
Saya tersenyum sok imut didepan cermin. Sambil sesekali menutup muka saya tersipu-sipu malu melihat bayangan wajah saya sendiri. Andai ibu tau, barusan dalam mimpi anaknya sedang jadi pengantin, sudah jadi istri orang. “Ibu dan bapak sudah punya mantu, hihi”. Ucap saya berbisik sambil meraih handuk digantungan dekat lemari.



Penulis : Siti Jumyanti, Prodi Akuntansi Manajerial Semester 4

0 komentar:

Posting Komentar