SEBELUM
SUBUH
Pagi
itu siap dengan pakaian yang sebelumnya telah dipilih, saya duduk diantara
segerombolan mata yang menatap tajam kepada saya. Gaun saya berwarna putih dan
bercahaya seperti berlian yang terkena pancaran matahari. Serasi dengan warna pada
seluruh ruangan. Padat dengan hiasan, pernak-pernik, dan bunga-bunga yang seluruhnya
juga adalah putih. Persis seperti yang telah saya rancang. Semua orang bahkan
mengenakan pakaian putih-putih. Beberapa saja yang memakai warna berbeda namun
tidak mengganggu keserasian yang ada.
Masih diposisi duduk
yang sama, setiap orang seperti hendak menelan saya bulat-bulat kedalam
pandangan mereka, membuat peluh yang sedari tadi keluar dari tubuh saya
bertambah deras. Sekarang sudah lewat setengah jam dari waktu yang telah
ditentukan tetapi kamu belum juga datang. Saya diam, seluruh hadirin diam. Rasa
khawatir saya disusul oleh rasa khawatir Ayahmu yang sejak lima belas menit
belakangan mondar-mandir didepan saya seperti setrika yang akan melahap kusut
si baju. Kali ini setrika besar itu tidak membuat licin pikiran saya melainkan
membuat saya bertambah kacau. Sementara itu keluarga besar kita duduk dengan
tenangnya disekeliling saya. Tepat disamping Ayah saya, Ibu saya dan Ibumu dengan
setia mendampingi saya. Berdebar bahagia
saya hari ini dibuat suram oleh keterlambatan kamu.
“Dimana mempelai lelaki?”. Tanya seorang
tamu undangan.
“Dia daritadi didepan. Diajak masuk tidak
mau. Malu katanya”. Jawab seorang sahabat.
“Malu melihat pengantin perempuannya mungkin,
hahahaa”. Gurau seorang lelaki paruh baya.
Seluruh
hadirin tertawa lucu mendengar perkataan bapak tadi. Diruangan ini kelihatannya
cuma saya yang jengkel kepada kamu. Kamu bercanda bahkan pada hari akad yang
selama ini kita nanti-nanti. Lelaki macam apa yang malu memasuki ruangan
pernikahannya sendiri. Saya mulai berciap-ciap dalam hati. Mengeluarkan
beberapa pemikiran aneh. Tidak tau kenapa, rasanya saya ingin menyusul kamu ditempat
kamu berdiri sekarang dan memaki hamun kamu. Sudah tidak peduli apakah pernikahan
ini akan diteruskan atau bahkan tidak perlu terjadi sama sekali sebelum saya
akhirnya kecewa. Pikir saya, mengucapkan akad didepan kedua orang tua dan
seluruh manusia yang akan mengantar kepada hari bahagia kita saja kamu malu,
apalagi saat nanti harus hidup berdampingan dengan saya selamanya. Mungkin kamu
akan tutup muka setiap kali menemani saya belanja. Atau mungkin kamu akan
menemani saya belanja dengan ember menutupi kepala kamu.
Tanpa
pikir panjang saya melangkahkan kaki menuju belakang gedung. Alasan saya mau ke
toilet. Aslinya saya ingin kabur dari pesta ini. Awalnya saya tidak sabar
menanti kedatangan kamu mengenakan baju pengantin pasangan dari yang saya
kenakan. Namun akhirnya semua berubah jadi marah besar. Saya menangis
sejadi-jadinya berlari kedepan gedung untuk mencari kamu seperti rencana awal
saya. Dari jendela saya lihat raut wajah keluarga besar kita yang tak sabar
menunggu. Hari ini akan jadi hari yang sia-sia bagi setiap kepala yang telah
meluangkan waktu untuk menghadiri akad nikah kita. Setelah bertemu kamu nanti
semua akan berakhir. Bahkan setiap janji dan mimpi yang pernah kita rajut tidak
akan berakhir apa-apa. Saya akan melupakan pernah mengenal kamu.
Dua
menit melangkah akhirnya saya sampai didepan gedung. Mata saya menyapu seluruh
sudut pandang namun tak juga menemukan kamu. Karena lelah, saya menangis dan
bersandar disalah satu tiang. Sambil meremas-remas gaun pengantin, saya duduk berselonjor
menunggu kamu datang.
Saat mata saya mulai
membengkak oleh tangisan, dari dalam gedung terdengar sorak sorai gembira.
Seperti gema yel-yel tanda seseorang tengah memenangkan sesuatu. “Ada apa itu?”. Tanya saya dalam hati.
Karena
penasaran akhirnya saya memutuskan membuka pintu ruangan. Benar saja, suatu hal
mengagetkan terjadi. Seorang lelaki yang hampir saja saya bunuh itu tiba-tiba
duduk manis beberapa centimeter dari
tempat duduk saya tadi. Seseorang itu baru saja selesai mengucapkan ijab Kabul
didepan ayah saya disambut sorak-sorai seluruh tamu undangan. Marah saya padam
perlahan, seketika berubah menjadi senyum tersipu malu. Dari yang bukan
siapa-siapa saya kini telah sah jadi istri kamu.
Pelan-pelan saya
berjalan dari tengah pintu seperti seorang ratu yang tengah menuju
singgahsananya. Seluruh mata kini beralih kepada saya, termasuk kamu. Kamu
melirik saya malu. Debar jantung saya semakin kencang saat jarak saya dan kamu
semakin dekat. Kamu kini tertunduk dan sesekali melirik lagi kepada saya. Dengan
iringan suara kompang, ayah membawa saya kepada kamu. Kamu menyambut tangan saya,
menggenggamnya erat dan menciumi kening saya hangat. Haru dan bahagia saya kini
bercampur jadi satu.
Sayup terdengar
teriakan suara Ibu, suara yang sama seperti setiap pagi biasanya. Sekarang
volume suaranya semakin kencang dan terasa mengoyak-ngoyak isi kuping. Saya
membuka mata dan dengan segera duduk tegap dari tidur lelap saya. Kepala saya
arahkan kepintu untuk melihat jam yang tepat menempel didinding depan kamar
saya.
“Masih
pagi buuu, baru jam setengah lima”. Ucap saya
“Ya
sama saja terlambat namanya kalau nanti tidak sholat subuh. Buruan bangun.
Mandi dulu sebelum adzan. Biar nanti pas sholat sudah bersih semua. Kamu
duluan, nanti gantian sama adik-adik”. Balas ibu.
“Okeeeh okeeehhhh”.
Saya tersenyum sok imut
didepan cermin. Sambil sesekali menutup muka saya tersipu-sipu malu melihat
bayangan wajah saya sendiri. Andai ibu tau, barusan dalam mimpi anaknya sedang
jadi pengantin, sudah jadi istri orang. “Ibu
dan bapak sudah punya mantu, hihi”. Ucap saya berbisik sambil meraih handuk
digantungan dekat lemari.
Penulis : Siti Jumyanti, Prodi Akuntansi
Manajerial Semester 4
0 komentar:
Posting Komentar