Indonesia
Siapa ?
Pagi itu, tepat tanggal 9 April 2014. Ya
pesta demokrasi dan sudah pasti hari libur.
Semua penjuru daerah mengadakan PEMILU. Namun aku masih disini, dikamar
kesayangan ku. Berbaring menikmati hari libur yang memang singkat. Dan kembali
tidur menghindari nyoblos. Hal yang amat aku benci.
Pukul 12.00 WIB, aku terbangun dan
sejenak aku mendengar keramaian diluar rumah. Di depan rumah ku memang
dijadikan pos untuk nyoblos. Satu – satunya pos yang ada di perumahan ku ini.
Aku pun keluar dan bertanya dengan warga setempat yang sedang menikmati
pemandangan seru itu.
" Maaf pak, ini kenapa ya ribut –
ribut begini ? " tanya ku pada bapak yang sudah paruh baya.
" Ini nak, ibu itu mau nyoblos.
Tapi dia gak dapat kartunya dan kesini cuma bawa KTP. Tapi malah gak diijinin
sama panitianya. Bukannya boleh ya nak datang bawa KTP gitu ? "
" Mungkin pak, saya juga kurang
tau, "
" Ahh, ngapain sih make acara
nyoblos segala. Sok banget tuh ibu ! Palingan karena ada kerabat atau temennya
yang nyaleg," ujar hati ku sinis.
Tak lama ibu tersebut datang menghampiri
ku dan si bapak dengan wajah yang putus asa. Kasihan sih melihatnya, tapi
karena aku keburu negative thinking
padanya, rasa kasihan itu berubah menjadi rasa muak yang teramat.
Si ibu mengajak bapak paruh baya itu
bercerita. Dengan tampang jutek, aku masih berdiri diantara mereka. Bukan
karena aku menikmati cerita siang itu, tapi lebih dikarenakan menjaga sikap dan
sopan santun pemilik rumah yang didatangi dua tamu menyebalkan.
Lamunan dan tampang jutekku pun terhenti
karena ibu tersebut bertanya kepada ku.
" Kamu udah nyoblos, nak?"
" Belum bu ? "
" Kenapa belum ? " tanya bapak
paruh baya itu pula
" Ya, malas pak. Untuk apa? Saya
juga gak kenal sama calegnya. Entar saya salah pilih pula. Bukannya makin bagus
daerah kira, malah makin rumit. "
" Hahaha. Orang mana mbak ? "
ujar sang bapak dengan tawa membahana.
" Melayu. Emangnya kenapa pak ?
"
" Bukan, maksud saya negara mana ?
Asli Indonesia kah atau orang luar ?"
" Hahaha. Lucu sekali si bapak.
Emang ada tampang orang luar ya? Saya asli Indonesia lah pak" , kali ini
aku yang mengeluarkan tawa.
" Kuliah atau masih SMA ?"
tanya si ibu pula
" Kuliah bu. "
" Aneh. Anak Indonesia. Penerus
Indonesia. Tapi gak ada kepeduliannya terhadap bangsa. Bahkan untuk menentukan
wakilnya saja tidak mau. Bagaimana kalau kalian yang akan meneruskan bangsa
ini? Mungkin makin porak poranda. Kamu fikir Indonesia ini milik siapa? Ini
Indonesia siapa ? " tegas sang ibu kepada ku.
Aku hanya bisa tertunduk mendengarkan
kata – kata itu. Tapi bukan berarti aku mengakui atau membenarkan kata – kata tersebut.
Aku terlalu sombong dan terlalu angkuh untuk mengakui kekalahan ku. Dalam hati
yang penuh emosi aku berfikir bahwa yang salah itu mereka. Para pemimpin yang
tak benar ! Pemimpin yang hanya memikirkan perut dan kekayaan mereka saja. Para
pemimpin bodoh ! Dan aku tak ingin menjadi manusia paling bodoh karena memilih
pemimpin yang bodoh !
" Lihatlah nak, lihat Indonesia
ini. Ini Indonesia ku. Ini Indonesia mu. Ini Indonesia kita. Nak, kamulah
penerus bangsa ini. Kamulah pemimpin yang akan berdiri nantinya. Kamu akan mewakili
aspirasi – aspirasi kami. Kalau kamu gak peka, gimana nantinya Indonesia kita
", sang bapak menasehati dengan penuh kasih sayang.
Perbincangan itu terus bergulir. Mereka
para orang tua yang sangat peduli terhadap bangsanya, mereka sangat peduli pada
masa depan negaranya memberikan aku suntikan – suntikan tajam tentang bangsa
ku. Nasehat – nasehat itu mulai mengikis kebencian ku terhadap Indonesia,
tepatnya pemimpin negeri ini. Aku terlahir disini, memakai tanah ini, meminum
air Indonesia ini dan sekarang aku tak peduli dengan negara ini, orang macam
apa aku ini ? Sungguh, pemimpin ini memang telah banyak bersalah tapi tak
seharusnya rakyatnya, penerusnya meneruskan kesalahan itu. Dan sebenarnya
kitalah yang salah, aku yang salah. Harusnya aku yang mencari tau tentang calon
wakil daerah ku, bukan hanya menunggu kabar burung yang belum tentu
kebenarannya. Aku salah, aku tak peka.
" Sebagai mahasiswa, harusnya
kalianlah yang mengontrol kebijakan pemerintahan. Jika pemimpin salah, kalian
mengingatkannya. Kalian harus peduli dengan bangsa ini ", ucapan sang
bapak yang mengakhiri pembicaraan kami.
Aku bergegas menuju pos pemilu itu.
Nyoblos. Itu yang ada dibenakku. Satu suara saja bisa menetukan semuanya. Aku
bersama ibu tersebut menghampiri panitia pemilu. Dan melalui perbincangan yang
panjang dan sedikit ancaman akan dilaporkan ke Panwaslu, panitia tersebut mengijikan
ibu tersebut untuk memilih.
Ahh Tuhan, aku baru tersadar ternyata
panitia ini semuanya adalah kerabat salah satu caleg. Disini juga tidak ada
pengawasnya. Pemilu macam apa ini ? Pantas tidak berjalan dengan sehat.
Sudahlah, lain kali ini tak akan terjadi.
Tak lama akupun pulang dengan tinta
menempel di jari kelingking ku. Haa, hari ini aku sudah memberikan sedikit
waktuku untuk bangsa ini. Semoga akan ada perubahan dari pemerintahan dan
pemimpin yang telah kami percayai. Semoga janji itu bisa ditepati oleh wakil
daerah ini. Ya, peka. Aku akan peka. Apalagi saat pemilihan Presiden nanti. Aku
harus memilih. Aku mahasiswa sehat yang peka. Aku mahasiswa yang peduli. Dan
aku juga akan menerusi perjuangan mereka nanti. MAHASISWA HARUS PEDULI .
By : Fajar
0 komentar:
Post a Comment